Author name: Admin

Burhan dalam Perspektif Falsafah Kalam

Oleh: Firmansyah Djibran El’Syirazi B.Ed, Lc  Kedirian wujud dapat dipersepsi melalui penyaksian kehadiran, dan juga bisa dari jalan penalaran kepada efek-efek dan akibat-akibat wujud.  ( Asfar arba’ah, Shadrulmutaallihin, jilid awal, darulma’arif al islamiyah, Tehran, 1383 Qamariah, hal. 53). 1.Burhan Nazm (keteraturan) Burhan ini dibangun atas beberapa muqadimah (premis). Pertama, bahwa alam  raya ini penuh dengan berbagai jenis benda, baik yang hidup maupun yang mati. Kedua, bahwa alam bendawi (tabiat) tunduk kepada satu peraturan. Artinya, setiap benda yang ada di alam ini tidak terlepas dari pengaruh undang-undang dan hukum alam. Ketiga, hukum yang menguasai alam ini adalah hukum kausalitas (illiyyah), artinya setiap fenomena yang terjadi di alam ini pasti dikarenakan sebuah sebab (illat) dan tidak mungkin satu fenomena terjadi tanpa sebab. Dengan demikian, seluruh alam raya ini dan segala yang ada di dalamnya, termasuk hukum alam dan sebab akibat, adalah fenomena dari sebuah puncak sebab (prima kausa atau illatul ilal). Keempat, “sebab” atau illat yang mengadakan seluruh alam raya ini tidak keluar dari dua kemungkinan, yaitu “sebab” yang berupa benda mati atau sesuatu yang hidup. Kemungkinan pertama tidak mungkin, karena beberapa alasan berikut :  Pertama, alam raya ini sangat besar, indah dan penuh keunikan. Hal ini menunjukkan bahwa “sebab” yang mengadakannya adalah sesuatu yang hebat, pandai dan mampu. Kehebatan, kepandaian dan kemampuan, merupakan ciri dan sifat dari sesuatu yang hidup. Benda mati tidak mungkin disifati hebat, pandai dan mampu. Kedua, benda-benda yang ada di alam ini beragam dan bermacam-macam, diantaranya adalah manusia. Manusia merupakan salah satu bagian dari alam yang paling menonjol. Dia pandai, mampu dan hidup. Mungkinkah menusia yang pandai, mampu dan hidup terwujud dari sesuatu yang mati ?. Kesimpulannya, bahwa alam raya ini mempunyai ‘’sebab’’ atau ‘illat, dan ‘’sebab’’ tersebut adalah sesuatu yang hidup. Kaum muslimin menamai ‘’sebab’’ segala sesuatu itu dengan sebutan Allah Ta’ala.   2.  Burhan al-Huduts (kebaruan) Al-Huduts atau al-Hadits berarti baru, atau sesuatu yang pernah tidak ada kemudian ada.  Burhan ini terdiri atas beberapa hal : Pertama, bahwa alam raya ini hadits, artinya mengalami perubahan dari tidak ada menjadi ada dan akhirnya tidak ada lagi. Kedua, segala sesuatu yang asalnya tidak ada kemudian ada, tidak mungkin ada dengan sendirinya. Pasti dia menjadi ada karena ‘’sebab’’ sesuatu. Ketiga, yang menjadikan alam raya ini ada haruslah sesuatu yang qadim, yakni keberadaannya tidak pernah mengalami ketiadaan.  Keberadaannya kekal dan abadi. Karena, jika sesuatu yang mengadakan alam raya ini hadits juga, maka Dia-pun ada karena ada yang mengadakannya, demikian seterusnya (tasalsul). Tasalsul yang tidak berujung seperti ini mustahil. Dengan demikian, pasti ada ‘sesuatu’ yang keberadaannya tidak pernah mengalami ketiadaan. Kaum muslimin menamakan ‘sesuatu’ itu dengan sebutan Allah Ta’ala. Burhan-burhan Aqli-filosofi tentang keniscayaan wujud Allah Ta’ala. A.  Burhan Imkan Sebelum menguraikan burhan ini, ada beberapa istilah yang perlu diperjelas terlebih dahulu Wajib,yaitu sesuatu yang wujudnya pasti, dengan sendirinya dan tidak membutuhkan kepada yang lain. Imkan atau mumkin, sesuatu yang wujud (ada) dan ‘adam (tiada) baginya sama saja (tasawiy an-nisbah ila al-wujud wa al-‘adam). Artinya, sesuatu yang ketika ‘ada’ disebabkan faktor eksternal, atau keberadaannya tidak dengan sendirinya. Demikian pula, ketika ‘tidak ada’ disebabkan oleh faktor eksternal pula, atau ketiadaannya juga tidak dengan sendirinya. Dia tidak membias kepada wujud dan kepada ketiadaan. Menurut para filosof, hal ini merupakan ciri khas dari mahiyah(esensi). Mumtani atau mustahil, iaitu sesuatu yang tidak mungkin ada dan tidak mungkin terjadi, seperti sesuatu itu ada dan tiada pada saat dan tempat yang bersamaan (ijtima’un-naqidhain). Daur (siklus atau lingkaran setan) Misal, A keberadaannya tergantung/membutuhkan B, sedangkan B keberadaannya tergantung/membutuhkan  A. Jadi, A tidak mungkin ada tanpa keberadaan B terlebih dahulu, demikian pula B tidak mungkin ada tanpa keberadaan A terlebih dahulu. Dengan demikian, A tidak akan ada tanpa B dan pada saat yang sama A harus ada karena dibutuhkan B. Ini berarti ijtima’un naqidhain (lihat Mumtani’).  Contoh lainnya, A keberadaannya tergantung/membutuhkan B, dan B keberadaannya tergantung/membutuhkan C, sedangkan C keberadaannya tergantung/ membutuhkan A. Jadi, A tidak mungkin ada tanpa keberadaan B terlebih dahulu, demikian juga B tidak mungkin ada tanpa keberadaan C terlebih dahulu, demikian juga C tidak mungkin ada tanpa keberadaan A terlebih dahulu. Daur adalah suatu yang mustahil adanya. Tasalsul, iaitu susunan sejumlah ‘illat dan  ma’lul, dengan pengertian bahwa yang terdahulu menjadi ‘illat bagi yang kemudian, dan seterusnya tanpa berujung. Tasalsul sama dengan daur, mustahil adanya. Burhan Imkan dapat dijelaskan dengan beberapa poin sebagai berikut  ini: Pertama, bahwa seluruh yang ada tidak lepas dari dua posisi wujud, iaitu wajib atau mumkin. Kedua, wujud yang wajib ada dengan sendirinya dan wujud yang mumkin pasti membutuhkan atau berakhir kepada wujud yang wajib, secara langsung atau lewat perantara. Kalau tidak membutuhkan kepada yang wajib, maka akan terjadi daur (siklus) atau tasalsul (rentetan mata rantai yang tidak berujung) dan keduanya mustahil. Ketiga, bahwa yang mumkin berakhir kepada yang wajib. Dengan demikian, yang wajib adalah ‘sebab’ dari segala wujud yang mumkin (prima kausa atau ‘illatul ‘ilal). Kaum muslimin menamakan wujud yang wajib dengan sebutan Allah Ta’ala. B. Burhan Ash-Shiddiqin Burhan ini menurut para filosuf muslim, merupakan terjemahan dari ungkapan Ahlul Bayt as. yang berbunyi, “Wahai Dzat yang menunjukkan diri-Nya dengan diri-Nya.” (Doa Shahabah Amir al-Mukminin Ali bin Abi Thalib as.) Artinya, Burhan ini ingin menjelaskan pembuktian wujud Allah melalui wujud diri-Nya sendiri. Para ahlui mantiq (logika) menyebutnya dengan burhan Limmi. Penjelasan burhan ini, hampir sama dengan penjelasan burhan Imkan. Ada beberapa penafsiran tentang burhan shiddiqin ini. Diantaranya penafsiran Mulla Shadra. Beliau mengatakan, “Dengan demikian, yang wujud terkadang tidak membutuhkan kepada yang lain (mustaghni) dan terkadang pula, secara substansial, ia membutuhkan kepada yang lain (muftaqir). Yang pertama, adalah wujud yang wajib, iaitu wujud murni. Tiada yang lebih sempurna dari-Nya dan dia tidak diliputi ketiadaan dan kekurangan. Sedangkan yang kedua, adalah selain wujud yang wajib, iaitu perbuatan-perbuatan-Nya yang tidak bisa tegak kecuali dengan-Nya (Nihayah al-Hikmah, hal. 269). Allamah al-Hilli, dalam komentarnya terhadap kitab Tajrid al-‘Itiqad karya Syekh Thusi, menjelaskan, “Di luar kita secara pasti ada yang wujud. Jika yang wujud itu wajib, maka itulah yang dimaksud (Allah Ta’ala), dan jika yang wujud itu mumkin, maka dia pasti membutuhkan faktor yang wujud (untuk keberadaannya). Jika faktor itu wajib, maka itulah yang dimaksud (Allah Ta’ala).

Burhan dalam Perspektif Falsafah Kalam Read More »

Pengajian Tasawuf dan Falsafah (siri 2)

Pemikiran Suhrawardi masih sedikit yang mengkaji lantaran rumit dan sulit. Karya ini mengubah hidup tokoh pemikir seperti Henry Corbin secara intelektual dan spritual. Di barat beberapa pengkaji seperti Luis Massignon, Otto Spies, Helmut Ritten dan lain-lain. Ditanya oleh muridnya kepada sang guru iluminasi tentang karyanya Hikmah al-Isyraq adalah karya falsafah atau mistis? Ya Hikmah al-Isyraq sebuah karya falsafah yang didasarkan atas pengalaman mistis. Menurut pengkaji, Hossen Ziai, unsur logika dan epistemologi begitu kental dalam bangunan falsafah iluminasi, justeru mengabaikan hal-hal itu menjamin ketidaksempurnaan analisis dalam falsafah ini. Seperti dilakukan oleh beberapa pengkaji yang lebih menumpukan sisi kerohanian mistis Suhrawardi seperti Nasr dan Henry Corbin. Kerana itu, memahami falsafah iluminasi Suhrawardi, tidak cukup sekadar memahami karya kemuncaknya seperti Hikmah al-Isyraq tetapi perlu melihat karya lain beliau lebih awal yang berkait seperti At-Talwihat, al-Muqawamat, al-Masyari wa al-Mutharahat demi membentuk satu kesatuan kefahaman yang utuh. Iya harus dibaca mengikut urutan bermula at-Talwihat dan diakhiri dengan Hikmah al-Isyraq. Justeru, Hikmah al-Isyraqi adalah kesimpulan dari karya sebelumnya. Membaca Suhrawardi menjadi sulit kerana metodologinya saling berkait dalam keempat-empat karya tersebut. Isyraqi bererti pencahayaan dan masyriq bererti timur. Kesatuan antara cahaya dan timur dalam Hikmah al-Isyraqi berkaitan dengan simbolisme matahari yang terbit di timur dan mencahayai segala sesuatu. Cahaya diidentifikasikan sebagai iluminasi. Ia menuntun kita mencapai kebenaran dari pancaran pencahayaan ilahi dengan mengakui diri sebagai hamba yang diciptakan dengan kurniaan akal, hati, rasio dan spiritual untuk mencapai kudrat kemanusiaan dan keilahian dalam diri. Dengan hubungan yang terhasil daripada “hikmah al-bahs” dan “hikmah az-zawq”, terhasil konsep yang memadukan intuitif-sufistik dan peripatetik. Hikmah al-Isyraq merupakan kitab rujukan paling klasik tentang falsafah hikmah dan sumber pertama yang membahas epistemologi huduri. Hikmah al-Isyraqi mengkombinasikan falsafah dan irfani dengan menghadirkan kritik tajam terhadap peripatetik. Demikian, Hikmah al-Isyraqi memperkenalkan kita pada satu hal iaitu untuk memperoleh kebenaran yang dipancarkan dari pencahayaan-Nya, kita harus menjadi “cahaya” bagi diri kita sendiri. TRADISI sebuah Pusat Kajian Irfan yang memberi fokus bidang Falsafah Islam dengan menumpukan secara khusus penelitian kajian Irfan Nadzari bersumber dari khazanah ilmiah Islam klasik & kontemporari terutama bersumberkan karya-karya Ibn Arabi, Suhrawardi, Mulla Sadra dan Al Ghazali menjemput anda semua untuk sama-sama belajar mengenai pemikiran tokoh-tokoh tersebut. Dalam Pengajian sesi ini, kita akan belajar mengenali kitab Hikmat al-Isyraq yang dianjurkan TRADISI bermula 9 December ini selama 4 kali sesi pertemuan.  Mari menyertai kuliah ini dan kita akan bersama-sama menemukan lautan terma cahaya; Nur al-anwar. Nur mujarrad, Isfahbad an-nasut, Al-anwar al- mudabbirah, Al-anwar al-qahirah, Nafs azh-zhuhur wa an-nuriyyah, Musyahadah al-Isyraq, Nur al-aqrab, Al-Isyraqat al-ulwiyyah, Al-anwar as-Sanihah, An–nur al-bariq al-ladzidz. Kepada yang berminat turut serta boleh hubungi:  https://wa.link/gb6wy9 Tarikh tutup penyertaan pada 8 December 2022. (Bilangan terhad)

Pengajian Tasawuf dan Falsafah (siri 2) Read More »

Renungan Atas Cahaya Kekal (2)

 Oleh: Syazreen Mohd   Cahaya akal tidak mampu menembusi pada pemikiran yang jahil dan hati yang zulumat. Kesombongan dan kejahilan ini pernah ditunjuki orang-orang jahiliyah sewaktu menepis risalah kewahyuan. Sikap istikbar mereka ini menutupi ruang ilm atau disebut pengetahuan yang dapat meluapkan kejahilan ini. Sikap ilm sebaliknya dapat mengawal segala nafsu kebinatangan yang menguasai diri kejahilan. Sikap pengetahuan ini dapat mengendalikan ketenangan dalam diri seseorang. Justeru, pengetahuan tidak wujud tanpa dari pancaran cahaya akal tersebut. Bahawa sikap ilm ini memancarkan manifestasi waqar yakni sikap yang teguh dan gagah. Sudah tentu sikap ini berlawanan dengan manifestasi dari sikap jahl yang memancarkan sikap zulm atau keganasan. Kejahilan ini tidak menampakkan dan ketidakmampuan untuk memahami kehendak Tuhan disebalik alam dan gagal mencerap sisi transenden ilahi yang menzahirkan bentuk manifestasiNya. Bagi orang jahil, segala peristiwa cuma sekadar peristiwa yang tidak punya simbol terhadap sesuatu. Ketidak temuan cahaya akal lalu menjadikan diri dan jiwanya buta dan tuli dalam memahami ayat-ayat bayyinat “bukti – tanda-tanda” terhadap kebenaran agama.  Dan jika Kami turunkan malaikat pun kepada mereka, dan orang-orang yang mati (hidup semula lalu) berkata-kata dengan mereka, dan kami himpunkan pula tiap-tiap sesuatu di hadapan mereka (untuk menjadi saksi tentang kebenaran Nabi Muhammad), nescaya mereka tidak juga akan beriman, kecuali jika dikehendaki Allah; tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui (hakikat yang sebenar). Kemuncak cahaya tertinggi itu terbuka pada hati paling tinggi dikehendaki-Nya. Ruhaniah yang diberikan Allah SWT kepada setiap manusia atau jiwa berfikir. Sebagaimana pohon kayu zaitun diumpamakan kekuatan berfikir pada manusia itu telah menghasilkan minyak-minyak lampu akal ruhaniah yang cukup kuat dalam menerangi kehidupan. Kemudian ia hadir dalam kesediaan hati untuk menerima pencahayaan tersebut. Seperti  seseorang itu telah mempersiapkan diri, jiwa dan raganya untuk meraih pencahayaan dari langit. Seiring kehendak mutlak-Nya atas sesuatu sejak azali. Maka kesempurnaan itu terlaksana apabila terjadinya sesuatu limpahan dan curahan “Rahmat” atau cahaya dari langit kepada hamba-Nya di bumi. Melalui perjalanan kerohanian tersebut lalu menembusi cahaya dari hati sekali gus mata batinnya. Namun, seandainya hati itu tidak diletakkan pada posisi kesediaan (isti’dad) nya pada ketetapan Lauhul Mahfuz, maka ia tidak akan menggapai posisi tersebut walau sebaik dan salehnya hati itu dalam mengerjakan amal saleh.  Ketidaktepatan dalam posisi yang benar ini seperti seseorang yang melaksanakan solat tanpa kerohanian hakiki. Jasmaninya yang solat. Bukan hatinya. Sebaliknya ia terus dalam rasa was-was dari Syaitan. Hal ini menandakan bahawa ketidaksiapan hati itu untuk memahami kerahsiaan-kerahsian dan tanda-tanda horizental yang halus dari ketuhanan melalui jalan mengenali asma’ dari-Nya. Kerana hal-hal ini akan menggangu atau menjadi halangan kepada seseorang untuk mendapatkan kasyaf yang hakiki. Justeru, Tuhan menghadirkan cahaya berdasarkan kepada tingkatan-tingkatan kerohanian daripada hamba-Nya yang sudah siap untuk menerima limpahan suci dari langit. Hal ini disebut oleh Ibn Arabi sebagai penerima (Fayd Muqaddas) limpahan suci dari wujud mutlak (Fayd Aqdas)  Sesungguhnya hakikat cahaya kebenaran itu dapat dicapai oleh kalangan khusus. Yang benar-benar menggapai pencahayaan tersebut dari mata batinnya – Pengalaman kerohanian. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT bahawa ia adalah tanda kepada pertumbuhan yang benar-benar sempurna yang mana dicapai dari pengalaman kerohanian – ahl kasyf.  “Dan Allah telah menumbuhkan kamu (hidup dari benda-benda yang berasal) dari bumi, dengan pertumbuhan yang sungguh-sungguh sempurna,  Makna “seungguh-sungguh sempurna” itu menandakan kepada kesiapan atau kesediaan hati hamba-Nya dalam menuruti perintah sehingga benar-benar mencintai dan mengenali cahaya ilahi sehingga kesempurnaan itu terpancar hasil dari mata batinnya itu iaitu “bashirah” Maka dengan itu segala penyingkapan kerahsiaan ilahi terungkap pada cahaya akal – ketajaman dari mata batin. Itulah pengetahuan yang terpancar dari pantulan kebenaran hakiki sekali gus ia menjadikan segala tindakan yang terhasil berada dalam rahmat dan petunjuk ilahi.  Demikian dalam diri manusia itu mempunyai suatu mata yang sempurna. Ia tidak dibuka kepada semua manusia melainkan kesediaan seseorang itu untuk menerimanya. Hal inilah disebut sebagai ketajaman mata batin – Basyirah. Yang memiliki sifat sempurna. Ia disebut sebagai mata yang mempunyai akal, ruh dan jiwa manusia.   “Telah kami buka hijab yang menutupinya dan kini penglihatanmu sungguh tajam.” (50;22)  Suatu renungan yang telah dihadirkan dengan sinar pencahayaan dari langit. Seperti mata inderawi yang tidak boleh menembusi hal-hal jauh dan dekat, tetapi cahaya akal ini mampu bergerak bebas sehingga dapat menggapai sekitar singgahsana ilahi atau di alam malakut.Ia mampu naik kemuncak langit tertinggi. Kemuncaknya adalah menggapai hakikat kebenaran wujud Tuhan. Kerana itu ia dapat dimiliki oleh kalangan tertentu. Yang sedikit. Imam al-Ghazali kitabnya Misykat al-Anwar mengkategorikan beberapa golongan dalam mentakrifkan kefahaman terhadap pancaran cahaya yang meliputi orang-orang awam, orang khusus dan orang paling tertinggi darjat ketakwaannya disebut sebagai golongan khawasul khawas. Maka pancaran cahaya itu mempunyai lafaz yang sama tetapi makna dan pantulan yang berbeza mengikut kelas derajat tingkatan kerohanian seseorang. Justeru kata cahaya itu berkembang dan berbeza mengikut pengertian yang banyak. Maka, golongan terakhir dan paling kemuncak inilah yang dikatakan al-Ghazali sebagai khawasul khawas adalah orang-orang yang telah menerima limpahan cahaya akal ilahi dan dibukakan pintu hijabnya. Mereka mewakili Tuhan di alam ini yang memancarkan cahaya paling tertinggi sekali gus memanifestasikan sifat ilahi sebagai tugas hamba dan manusia yang diberikan kurniaan limpahan hikmat ilahi daripada-Nya.  Cahaya Akal sebagai hikmah ilahi (Devine Intelligence)  Berikutan itu, sedikit dari mereka yang menyedari bahawa tentangan dunia moden pada hari ini mengenai masalah-masalah kekeliruan dalam pengetahuan yang tidak pantas dapat dijawab dengan penafsiran rasional dan pandangan pengetahuan melalui daya inderawi semata-mata dalam menyingkap kebenaran. Seseorang harus membezakan penggunaan akal dan logika dengan rasionalisme yang menjadikan akal sebagai satu-satunya kriteria untuk menilai kebenaran. Jika rasionalisme sebagai upaya membangun suatu sistem didasarkan atas akal sahaja maka hal ini sudah lama dimulai oleh Descartes. Ia merujuk ego manusia bukan intelek ilahi. (Cogito ergo sum) Tetapi tidak dalam tradisi keislaman yang merujuk kepada kembali kepada fitrah iaitu keislaman yang hanif. Sikap tunduk dan patuh sekali gus membuang sikap fanatisme yang menutupi jalan pengetahuan ilahi. Kerana pantulan cahaya ilahi itu hanya mampu dicapai oleh hati dan jiwa yang suci. Lihatlah hasil kebijakan dan pencerahan orang-orang di barat yang tertanamnya rasionalisme abad 17 ialah dengan bangunan pencakar langit moden namun demikian karya mereka lahir kerana kurangnya pengertian transenden ilahi. Sebaliknya cahaya akal mengikat manusia  kepada kebenaran tuhan sendiri.  Cahaya akal lah yang memandu manusia ke jalan yang

Renungan Atas Cahaya Kekal (2) Read More »

Peranan Falsafah dalam Agama Islam

Oleh: Mohd Jamizal Zainol   Sudah ramai cerdik pandai cuba menganalisis mengapa umat Islam sekarang mundur dan tidak maju. Pemikir Indonesia Nurcholish Madjid berpendapat umat Islam dilihat mundur kerana perbandingan dibuat dengan kemajuan Barat selepas era revolusi industri di mana banyak penciptaan-penciptaan baru dilakukan Barat selepas penemuan enjin stim di sana, walaupun sebenarnya umat Islam tidaklah mundur dari segi pemikiran. Perbandingan dibuat hanya dengan kemajuan material semata-mata. Ada yang menuduh bahawa pemikiran Al-Ghazali seorang tokoh ilmuwan Islam di Abad ke-10 membawa kemunduran masyarakat Islam atas tuduhan beliau “membunuh” falsafah sekaligus menolak kaedah rasional (penggunaan akal) dalam ilmu pengetahuan kerana tulisannya dalam Tahafut-Al-Falasifah. Walaupun sebenarnya itu tidak benar, kerana Al-Ghazali hanya mengkritik beberapa premis sahaja yang dibawakan oleh ahli falsafah peripatetik. Jika ditanya kepada saya punca kemunduran umat Islam, puncanya memisahkan falsafah dengan agama Islam. Hubungan falsafah dan agama Islam terlalu intim kerana falsafah merupakan kaedah kritis rasional dalam mencari kebenaran hakiki dalam agama. Ini dinamakan kaedah “Burhan” kerana melalui akal manusia dapat membuat kesimpulan dan mencari suatu prinsip universal dalam data-data yang dikumpulkan oleh inderawi. Begitu juga dalam memahami teks Al-Quran kerana tanpa akal, teks hanya tinggal teks. Manusia tidak mampu untuk mengaplikasikan teks melalui kaedah tafsir dan takwil. Tafsir dan takwil teks Al- Quran sudah tentu menggunakan akal bagi memahami makna yang zahir dan batin. Falsafah memberikan bantuan kepada kita memahami Islam dengan mendalam misalnya tentang keesaan Allah SWT. Salah satu bidang falsafah ialah pengkajian apa itu Wujud (Ontologi). Mengapa pengkajian Wujud ini penting? Penting kerana Wujud itu ialah anugerah dari Tuhan. Tanpa kewujudan kita semua tiada. Wujud itu adalah anugerah kerana dengan Wujudnya alam ini termasuk manusia, kita dapat mengenali Tuhan. Hanya Tuhan yang Wajibul Wujud (Wujud mutlak) yang lain termasuk manusia, planet-planet, mineral dan haiwan hanya Mumkinul Wujud (Wujud yang berkehendak). Memahami falsafah akan membebaskan kita dari sikap ekstrim dan ta’asub dalam mana-mana kelompok pemikiran agama samaada Ahlus Sunnah, Shiah, Ahmadiah, Wahabi, Salafi, Ashairah dan sebagainya. Imam Al-Ghazali seperti sudah dapat meneka masa hadapan apabila beliau menyatakan dalam kitabnya Faysal al-tafriqah bayna al-Islam wa-al-zandaqah di antara manusia yang paling berlebihan dan paling keterlaluan ialah golongan ahli kalam yang mengkafirkan masyarakat Islam awam. Mereka berpandangan bahawa seseorang yang tidak mengetahui prinsip-prinsip syara’ dengan menggunakan dalil-dalil sepertimana yang dirumuskan oleh ahli kalam maka dia adalah kafir. Senario ini biasa kita lihat sekarang. Menurut Al-Kindi seorang failasuf Islam yang dikenali sebagai Bapa Falsafah Arab menyatakan falsafah adalah ilmu yang mempelajarai hakikat segala sesuatu melalui keterbatasan kemampuan manusia. Falsafah teori mencari kebenaran, manakala falsafah praktikal mengarahkan pelakunya agar mengikut kebenaran. Berfalsafah itu seolah-olah berusaha meniru perilaku Tuhan. Falsafah merupakan usaha manusia mengenal dirinya.  Falsafah dalam Islam matlamat akhirnya ialah mengenali Tuhan sebagai Realiti. Sebagai manusia biasa tahap tertinggi pengetahuan manusia mengenal Tuhan sebagai Realiti apabila manusia mencapai tahap Hikmah. Menurut Ibn Sina ahli failasuf Islam berasal dari Iran mendefinisikan Hikmah adalah kesempuranan jiwa manusia tatkala berhasil menangkap makna segala sesuatu dan mampu menyatakan kebenaran dengan fikiran dan perbuatannya sebatas kemampuannya sebagai manusia. Ada pelbagai pandangan dan persepsi terhadap falsafah Islam. Pertama ada pandangan mengatakan falsafah Islam ini adalah lanjutan daripada falsafah Yunani kuno. Mereka lebih suka menyebutnya sebagai falsafah Arab. Di balik pandangan ini terselit rasisme intelektual bahawa falsafah Islam itu produk Yunani dan kerananya, masyarakat Islam sekadar mengambil dan memelihara untuk diwariskan kepada generasi sesudahnya. Dalam sejarah falsafah dunia, peranan dan kedudukan falsafah Islam seringkali di singkirkan dan dikurangkan atau diabaikan sama sekali. Mulai dari Hegel sampai Coplestone dan Russel, falsafah Islam hanya dibahas sambil lalu hanya sebagai jambatan peradaban (Kulturvermittler) dari Zaman Kegelapan ke Zaman Pencerahan. Ada juga tuduhan failasuf Islam dituduh telah mencomot dan terpengaruh oleh tradisi Yahudi-Kristian. Pendapat ini di wakili oleh Maimonides seorang failasuf yahudi yang pakar dalam falsafah Islam. Namun demikian, saya cenderung mengatakan falsafah Islam itu lahir dari kegiatan intelektual selama berabad-abad semenjak kurun pertama Islam. Ia bermula dengan perbincangan tentang kekuasaan dan keadilan Tuhan, tentang hakikat kebebasan dan tanggungjawab manusia. Munculnya kelompok Khawarij, Syiah, Muktazilah dan lain-lain telah melontarkan pelbagai perbincangan rasional dengan merujuk kepada ayat-ayat al-Quran. Ini menunjukkan dengan jelas sekali berkembangnya pemikiran falsafah Islam.  Falsafah dalam Islam dimulai pada Abad ke-9 dan berlangsung sampai sekitar Abad ke-12. Era ini disebut sebagai zaman keemasan Islam. Era inilah yang berjasa besar menginspirasikan lahirnya falsafah moden dengan yang dikenali sebagai renaissancesehingga dalam Ensiklopedia Britannica disebut sebagai “the largest technology transfer in world history”. Era falsafah Islam awal, diwakili oleh Al-Kindi dan berakhir pada Ibn Rusyd yang dikenali sebagai ahli falsafah peripatetik. Era baru falsafah Islam selanjutnya berkembang di negara-negara Timur pada waktu itu khususnya di Parsi dan India dengan lahirnya aliran seperti Avicennisme, Iluminationisme  dan Teosofi. Selepas Mulla Sadra, falsafah Islam dilihat lesu kerana penjajahan sudah mula berlaku di negara-negara Islam. Falsafah Islam dilihat sangat berbeda bentuknya dengan munculnya pemikir-pemikir pembaharuan seperti Jamaludin Al-Afghani, Muhammad Abduh dan Muhammad Iqbal. Banyak dari mereka yang terpengaruh dengan pemikiran logik positivisme dan sains. Pada zaman keemasan Islam, falsafah sangat berjaya sekali kerana pada pandangan saya masyarakat Islam pada masa itu percaya bahawa agama Islam itu sangat menekankan peri pentingnya masyarakat Islam untuk menuntut ilmu dengan menjadikan sebagai kewajiban agama. Berbeda dengan zaman sekarang, di mana anak-anak muda lebih rela menjadi instafamous, youtuber dan tik-toker bagi mendapatkan pendapatan lumayan daripada menggunakan masa mengikuti kelas-kelas ilmu terutamanya falsafah atau melanjutkan pelajaran ke peringkat yang lebih tinggi. Faktor kedua, ialah apresiasi masyarakat dahulu yang sangat tinggi terhadap ilmu, ilmuwan dan buku berbanding sekarang. Zaman sekarang penghibur dan artis itu menjadi idola anak-anak muda terutama artis K-Pop daripada mengidolakan seorang ahli ilmu atau mana-mana failasuf Islam. Faktor ketiga, ialah sokongan yang sangat besar dan tulus dari para penguasa dan kerajaan dahulu terhadap perkembangan ilmu terutama sokongan penguasa dan kerajaan dalam menubuhkan institusi ilmu yang benar-benar serius sehingga menjadi rujukan seluruh dunia.  Kita seharusnya mencontohi kegiatan para imuwan dan failasuf dahulu yang kerja asasnya akan memburu pelbagai manuskrip di seluruh dunia untuk kajian. Selepas mendapatkan manuskrip akan berlakulah aktiviti terjemahan untuk dibaca oleh masyarakat setempat. Dengan cara ini ilmu-ilmu tinggi dapat diakses oleh masyarakat terbanyak. Kemudian ahli ilmu ini akan membuat pelbagai penjelasan atau kritikan atas karya ahli ilmu terdahulu (syarah). Mereka akan berusaha menulis sebuah karya yang asli yang sifatnya bukan sahaja ekstensif dan mendalam

Peranan Falsafah dalam Agama Islam Read More »

Renungan Atas Cahaya Kekal (1)

 Oleh: Syazreen Mohd  Cahaya hakiki hanya Allah SWT. Sumber pengetahuan yakni yang mengetahui cahaya-cahaya yang lain. Ia sumber pancaran terhadap sesuatu pengetahuan. Ia sumber cahaya mata batin. Ia adalah cahaya yang menaungi cahaya di langit dan di bumi. Meliputi seluruh alam ini. Justeru, cahaya bukan kilauan terbit dari penglihatan kelopok mata. Cahaya sebenar-benar itu adalah dari nur ilahi. Ia memancarkan pada jiwa atau akal manusia. Ia mempunyai sifat kesempurnaan yang digelarkan sebagai akal, roh dan jiwa insaniyah.Seperti disebutkan dalam hadis Nabi Muhammad SAW: “Yang pertama-tama dijadikan oleh Allah ialah akal” – (Hadis Dawud Ibn Mejar daripada Abu Hurairah) Allah SWT menamakan akal itu dengan nur. Firman-Nya yang bermaksud: “Allah yang menerangi langit dan bumi. Bandingan nur hidayah petunjuk Allah (Kitab Suci Al-Quran) adalah sebagai sebuah “misykaat” Tidak ada cahaya melainkan dari-Nya. Menurut Saidina Ali rhm bahawa cahaya ilahi itu menerangi seluruh isi langit dan bumi. Kebenaran cahaya tersebut menyinari hati manusia dalam mengenal Tuhan. Ia punca mengalirnya pengetahuan dalam sanubari yang hidup. Cahaya itu menghidupkan jiwa dan akal sekali gus ia menggerakkan wujud-wujud yang lain. Sebagaimana rahmat Allah SWT kepada kewujudan dan sesiapa yang dikehendaki-Nya. Justeru, selain yang menggerakkan dari itu adalah cuma cahaya kiasan. Bukan hakiki. Sebaliknya ia adalah kegelapan yang memadamkan cahaya kebenaran. Seringkali kegelapan itu menutupi pandangan kebenaran. Ketertutupan dari pancaran itu menggelapkan hati. Manusia yang mudah tertipu pada prasangka kegelapan yang seringkali dianggap cahaya. Sedangkan hati dan jiwa terbatas dalam melihat hakikat sesuatu di sebalik pencahayaan tersebut. Mereka sekadar menerobosi cahaya pada sebahagian sisi. Bukan keseluruhan sisi. Sangkaan ia menyeluruh pada pandangan zahir yang penuh dengan kekeliruan dan batas.  Maka, pandangan kebenaran dari mereka itu dicapai pada pandangan zahir. Bukan pada pandangan sebenar-benarnya yang menyeluruh dan universal. Bahkan pandangan tersebut tidak mampu dan terbatas kerana akibat ketidaksediaannya dalam meraih cahaya dari langit – Cahaya Mutlak. Kelemahan dan keterbatasan ini lah disebut dengan pandangan kebenaran dari mata inderawi.  Keterbatasan Cahaya Inderawi  Cahaya inderawi adalah pandangan zahir dari mata banyak kelemahan. Ia tidak mampu mencapai hal-hal bersifat transenden. Kerana itu sesuatu pengetahuan hakiki tidak mampu dicapai melalui daya inderawi semata-mata. Ia tidak mampu membaca dan mencerap bahasa, tanda-tanda yang terkandung dalam bahasa ilahi. Kerana keterbatasan inderawi tidak mampu mencapai hal itu. Ia tidak mencapai pada hal-hal ghaib. Bahkan ketidakmampuan ia dalam menerobos kebatinan dan rahsia ketuhanan yang ada di bumi atau di langit. Ia tidak mampu melihat terlalu jauh dan dekat dari pandangan mata atau dibalik hijab. Kelemahan itu lebih jelas kerana ia tidak mampu melihat di luar dari jangkaan. Ia boleh menerobos hal-hal bersifat sesuatu yang ada (al-maujudat). Namun tidak pada hal-hal seperti yang dapat difikirkan (al-Ma’qulat) apatah lagi hal bersifat perasaan (al-mahsusat)  Oleh itu mata inderawi tidak mampu menangkap tentang persoalan tentang batin rasa, bau, bunyi, gembira, sedih, gelisah, batas warna dan bentuknya. Jauh terbayang menjangkau pandangan kebenaran. Pandangan inderawi hanya bergulat dalam hal-hal yang tampak dari mata zahir. Tidak pada mata batin. Kerana itu pengetahuan hakiki diperolehi tidak hanya melalui daya inderawi semata-mata, ia perlu kepada akal yang menembusi cahaya batin. Fungsi akal (cahaya) ini adalah mengabstraksikan pengetahuan inderawi dan menangkap pengetahuan lain yang berada disebalik pengetahuan inderawi tersebut. Lihat contoh seperti dinding, misalnya sebuah kamera hanya mampu menangkap gambar sebatas permukaan dinding tersebut, namun kamera seperti sinar X mampu melihat hal yang terdapat di balik dinding penghalang tersebut. Contoh lain adalah seperti cermin merupakan salah satu perumpamaan betapa cahaya akal mampu memantulkan cahaya hakiki dan pengetahuan. Semakin terang dan jernih cermin itu semakin terpantul gambar yang jelas. Seandainya kabur dan kotor cermin tersebut, mustahil mampu menghasilkan pantulan yang jelas.  Begitulah sesuatu pengetahuan, jika hanya inderawi satu-satunya sumber kebenaran, ia tidak mampu mencapainya tanpa wujudnya cahaya akal. Seperti disebut dalam puisi Arab, Cahaya akal terhalang kerana menuruti hawa nafsu. Kerana kebenaran yang tersingkap di dalam al-Quran dan merupakan tanda-tanda ilahi itu hanya mampu difahami oleh orang-orang yang mempunyai daya pengetahuan yang benar, pemikiran yang bersih, hati yang jernih sekali gus mampu memanifestasikan tanda-tanda dan sifat ilahi. kerana cahaya akal bukan sahaja mampu mencapai kefahaman horizontal tetapi menyusup secara vertikal ke dalam. Demikian alam semesta ini adalah tanda dan memperolehi pengetahuan metafizika ini hanya melalui pengetahuan dari sumber cahaya akal. Kerana selama kita belum mengenal pengetahuan, maka di situ kita masih gagal memahami realiti alam. Justeru penglihatan mereka terhadap pencahayaan tidak lebih sekadar cahaya kiasan yang terbatas dan hanya mengaburi pandangan kebenaran. Malangnya sikap bermati-matian menatang kegelapan dianggap sebagai cahaya. Demikian ketidakmampuan dan kejahilan tersebut telah mengelirukan pandangan kebenaran. Tanpa pancaran, ia sukar menghantarkan pengetahuan penetapan konsepsi Allah sebagai Tuhan yang berkuasa mutlak. Kejahilan itu tidak mungkin terbentuk dari hubungan antara hamba dan Tuhan. Sebagai abd yang berserah diri serendahnya pada kuasa paling agung. Hal ini bertentangan dengan konsep penyerahan, patuh dan taat. Penolakan ini disebut al-Quran sebagi hati yang mengeras.. Bersambung…  Syazreen Mohd, Pengasas TRADISI.

Renungan Atas Cahaya Kekal (1) Read More »

Perbahasan Ringkas Mengenai Alam Mitsal (Alam Ruh)

Oleh: Firmansyah Djibran El’Syirazi B.Ed, Lc Alam al-Mitsal (alam imajinal) merupakan alam yang berada di antara alam Jabarut, alam Mulk dan alam Syahadah. Alam al-Mitsal merupakan alam ruhaniah yang pada satu sisi dari segi adanya bentuk dan ukuran dapat terinderai mirip dengan substansi jasmani, dan pada sisi lain, dari segi pancaran cahayanya, mirip dengan substansi intelek. Alam al-Mitsal, dari sisi keterpisahannya dari materi, merupakan alam ruhaniah, dan dari sisi adanya ukuran dan bentuk, mirip dengan alam yang memiliki hukum kejadian dan kehancuran (al kawn wa al fasad). Para penganut mazhab filsafat Peripatetik, khususnya Syekh al-Rais Ibn Sina, mereka mengingkari keberadaan alam mitsal. Karena bagi mereka, pada diri manusia tidak terdapat alam antara; diri manusia merupakan gabungan dari materi dan ruhani sehingga tidak menyisakan ruang bagi adanya alam di antara keduanya. Sedangkan Syekh Isyraq, Syekh Shuhrawardi, di samping mengakui keberadaan alam ini, beliau pun mengemukakan dalil-dalil untuk menetapkan alam tersebut. Demikian juga Shadru al-Muta’allihin Syirazi. Bahkan Mulla Shadra melampaui Syekh Israq dan Ibn Arabi dalam mensistematisasi dan mengembangkan prinsip ini. Di tangan Mulla Sahdra-lah argumentasi rasional terhadap keberadaan alam ini dipaparkan. Mulla Shadra, seperti halnya Ibn Arabi membagi alam Mitsal menjadi dua bagian: alam mitsal mutlak atau imajinal terpisah (mitsal al mutlaq aw munfasil) dan alam mitsal tidak mutlak atau imajinal bersambung (mitsal al muqayyad aw muttasil). Alam imajinal mutlak dan terpisah merupakan alam imajinal yang independen dan hakiki, yang merupakan forma dari segala sesuatu yang terwujud dalam satu kondisi yang sama di antara kehalusan ruhaniah dan kepadatan materi, sedangkan alam mitsal yang tidak mutlak atau bersambung merupakan alam imajinal yang tidak terpisah dari jiwa seseorang dan menampilkan forma yang berasal dari alam mitsal mutlak atau terpisah. Mulla Shadra menyebutkan bahwa alam mitsal, dari sisi posisinya berada, baik pada kurva naik maupun kurva turun: pada kurva naik, tidak lain, merupakan alam barzakh yang merupakan tempat keberadaan bagi jiwa pasca berpisah dari raga, sedangkan alam mitsal pada kurva turun merupakan alam yang berada di antara alam ruhaniah dan materi. Jadi, alam mitsal adalah alam ruhani dan terdiri dari substansi ruhani, di mana di satu sisi, ia berisi atau terkait dengan substansi materi, sehingga karena itu muatannya memiliki dimensi dan ukuran. Tetapi di sisi lain ia mengandung substansi intelek dan immaterial, sehingga karena itu, tabiatnya berasal dari cahaya murni. Maka, alam ini tidak murni material dan tidak juga berupa substansi intelek yang independen, sehingga ia layak untuk disebut sebagai bentuk dari Barzakh, yaitu alam pertengahan dan pembatas, di mana ia memisahkan antara dua hal, yakni yang merupakan alam pertengahan antara substansi immaterial yang halus/murni dan substansi materi yang kasar dan kotor. Alam mitsal adalah alam ruhani yang dari satu sisi karena dia memiliki ukuran dan karena dia dapat dirasakan seperti substansi jasmani, tetapi dari sisi lain, karena dia memiliki cahaya, maka ia menyerupai substansi immaterial ‘aqli. Alam Mitsal dilihat dari sisi karena ia immaterial, maka dia disebut dengan alam ruhani dan mengandung pengetahuan, tetapi di sisi lain, karena ia memiliki bentuk dan rupa, maka ia dianggap menyerupai dengan alam wujud dan alam yang bisa rusak (fasad). Jadi, alam mitsal, karena ia bukan materi, maka ia menyerupai alam arwah. Tetapi dari sisi ia memiliki bentuk dan gambar serta ukuran, maka ia menyerupai alam ajsam. Para urafa’ mengatakan, karena makna-makna itu datangnya dari Allah Swt, maka pada tahapan Alam Mitsal, ada bentuk fisik dan inderawi seperti rupa khayali kita lalu ia turun ke Alam Mulk. Oleh karena itu, alam mitsal mereka namakan dengan khayal munfashil. Qaisari dalam syarah mukadimahnya terhadap fusush al-Hikam, mengatakan, seluruh makna-makna dan hakikat-hakikat maujud yang ada di alam, baik yang pada kurva naik dan pada kurva turun itu memiliki gambar mitsali yang sesuai dengan kesempurnaan-kesempurnaannya. Sebab, mitsal merupakan tempat manifestasi hakikat-hakikat, dan setiap hakikat itu muncul dalam sebuah asma’. Firmansyah Djibran El’Syirazi B.Ed, Lc Sebagai Penyelidik di TRADISI dan merupakan mahasiswa sarjana di  Al-Mustafa International Universiti,‎ IRAN

Perbahasan Ringkas Mengenai Alam Mitsal (Alam Ruh) Read More »

Mahiyah (Keapaan) Suatu Persoalan Falsafah

Oleh: Firuz Ramli   Apabila anda berhadapan dengan satu realiti, anda akan menangkapi 2 makna iaitu yang pertama mahiyyah dan yang kedua adalah wujud. Mahiyah mewakili persoalan apakah ia manakala yang kedua mewakili adakah ia. Sebagai contoh jika ditanya, apakah realiti dihadapan anda, anda menjawab ia adalah meja dan adakah meja ini wujud dihadapan anda? Maka anda menjawab, ia wujud. Wujud menerang suatu realiti keberadaan manakala meja menerangkan zat keberadaan tersebut, oleh demikian anda berhadapan 1 hakikat dengan 2 makna hakikat. Hakikat wujud tidak sama dengan hakikat zat sesuatu kerana anda boleh menafikan kewujudan zat tersebut dengan menjawab soalan adakah meja itu wujud dengan jawapan tidak, dan juga boleh dengan jawapan, iya. Jadi wujud bukan zat tersebut dan bukan bahagian dari zat itu sekiranya tidak, anda tidak dapat nafikan dari zat tersebut sebagaimana anda tak dapat nafikan segi tiga itu ialah tiga garis lurus dan tiga sudut, tidak nafikan manusia itu ialah haiwan yang berakal bahkan tidak dapat nafikan kelaziman suatu hakikat seperti bentuk meja dari meja iaitu anda buangkan bentuk meja dari hakikat meja kemudian anda letakkan bentuk kereta, maka ia tidak lagi dipanggil meja tetapi dipanggil kereta walau pun kedua-duanya dibina dengan material yang sama iaitu kayu. Permasalahan ini para hukama membincangkan ia dalam satu bab yang dinamakan “زيادة الوجود على الماهية” iaitu Pertindihan wujud pada zat. Oleh demikian terdapat 2 makna yang berbeza dari 1 realiti dan ini menimbulkan persoalan bagaimana 1 realiti mewakili 2 makna realiti? Adakah wujud itu sama dengan sifat pada zat seperti warna pada jisim? Iaitu zat itu adam atau tidak wujud kemudian wujud kerana sifat wujud disandarkan kepadanya? Bagaimana mungkin suatu yang ‘tiada’ boleh disandarkan? Perlu dingatkan juga bahawa semua mungkinul wujud, akal dapat menganalisa 2 perkara darinya iaitu satu wujud dan satu lagi tentang zat wujud tersebut iaitu kita panggil sebagai mahiyah maka wujud itu merangkumi semua hakikat dan ia juga bukanlah seperti sifat ia juga tidak termasuk dalam 10 kategori ( 10 maqulat) dalam perbahasan mahiyah. Untuk menganalisa perbahasan lebih mendalam lagi antara wujud dan mahiyah ini maka kita perlu membedah apakah itu mahiyah? APAKAH ITU MAHIYAH Persoalan disini adalah untuk mencari definisi identiti mahiyah. Para hukama menyatakan bahawa bahawa mahiyah adalah suatu hakikat yang menjawab apakah ia atau disebut sebagai “ما يقال في جواب ما هو” . Dalam ibarat ini kata soal “ما” pastilah membawa maksud istifham hakikiah “حقيقية” bukan syarihah “شارحة”[1]kerana syarihah menjawab makna yang tidak jelas bagi suatu lafaz seperti lafaz“Air” tidak difahami oleh orang arab maka ditanya apakah itu Air? Manakala hakikiah menjawab makna zat bagi sesuatu seperti anda bertanya apakah hakikat zat bagi Zaid maka dijawab dia adalah manusia, maka disini manusia adalah mahiyah. Dhamir “هو” pula menunjukkan pada suatu hakikat yang di luar yang disoal dengan soalan ‘Apa’. Dalam mantiq pengunaan “قول” membawa maksud “حمل” atau “محمول” iaitu predikat dalam ayat[2] jadi maksud “ما يقال في جواب ما هو” dapat dihuraikan sebagai “ما يحمل على الشئ في جواب ما حقيقية هذا الشئ” iaitu menjadi predikat bagi persoalan ‘Apa’ hakikiah. Bagi ciri predikat ini ia memiliki 2 ciri iaitu 1) berbentuk makna 2) umum, dalam ertikata yang lain ciri mahiyah itu adalah makna umum. Makna iaitu suatu hakikat yang dapat terhasil dalam alam minda manakala Umum pula ialah suatu tak dibataskan pada satu wujud. Jika dilihat huraian MullaSadra, suatu hakikat jika tidak dapat difahami melainkan dengan musyahadah (lihat) maka ia bukanlah mahiyah. “ إنّ الماهيّة ما به يجاب عن السؤال بما هو كما أنّ الكمية ما به يجاب عن السؤال بكم هو فلا يكون إلاّ مفهوماً كلياً ولا يصدق على ما لا يمكن معرفته إلاّ بالمشاهدة[3]” Apa yang hendak dinyatakan dalam teks ini jika suatu hakikat hanya dapat dicapai secara juzuk, individu dan khusus maka ia bukanlah mahiyah ini kerana suatu perkara yang terhasil pada minda akan menjadi dalam bentuk umum dan umum yang dimaksudkan disini adalah suatu hakikat tidak terhalang baginya lebih daripada satu objek seperti makna manusia anda boleh benarkan pada Ali,Zaid,Umar dan seterusnya tanpa batas. Namun apa yang kita bicarakan ini adalah mahiyah yang bersifat khas jika dibandingkan makna istilah mahiyah lain yang digunakan oleh filusuf terdapat 3 makna yang digunakan : 1. Mahiyah khas : iaitu menjawab “ما يقال في جواب ما هو” 2. Mahiyah Am : iaitu suatu hakikat umum yang tidak terbatas pada satu bilangan wujud 3. Mahiyah lebih Am : بما به الشئ هو هو Biasakan jika makna mahiyah selain dari makna pertama filusuf akan menunjukkan makna mahiyah dalam konteks umum. MAHIYAH AM Apa yang kita bincangkan sebelum ini adalah mahiyah khas iaitu “setiap hakikat yang menjawab soalan apakah ia?” atau dalam erti kata yang lain mahiyah ialah sesuatu predikat bagi jawapan soalan apakah ia. Tetapi kata mahiyah tidak semestinya terbatas makna yang kita jelaskan sebelum ini kerana kadang kala filusuf mengunakan kata mahiyah ini dengan maksud yang lebih luas iaitu “Setiap hakikat dengan sendirinya tanpa melihat dari sudut yang lain adalah tidak mustahil membenarkan maknanya pada objek lebih daripada satu” atau dalam ungkapan yang lebih ringkas “setiap hakikat yang tidak terhalang baginya makna umum”.  Oleh demikian makna mahiyah ini disini bukan sahaja merangkumi predikat bagi jawapan apakah ia malah ia merangkumi apa-apa sahaja hakikat umum seperti makna wahdah (satu), makna wujud juga terangkum dalam hakikat mahiyah sedangkan wahdah dan wujud tidak termasuk dalam mahiyah jika mahiyah dilihat dari sudut khas. Begitu juga hakikat ‘makna’ itu sendiri termasuk dalam mahiyah, hakikat umum juga termasuk dalam mahiyah dan apa-apa sahaja hakikat wujudnya adalah minda. Sering kali makna mahiyah am ini digunakan oleh urafa atau dalam irfan nazari mereka juga mengunakan kata “شيئية المفهومي”atau “شيئية الثبوتي” yang membawa maksud hakikat mahiyah am lawan dari kata “شيئية الوجودي”. Syaiyah wujudi atau hakikat wujud ialah “Setiap hakikat dengan sendirinya tanpa melihat dari sudut yang lain adalah mustahil membenarkan maknanya pada objek lebih daripada satu” atau lebih tepat kita katakan hakikat wujud disini adalah hakikat secara zatnya adalah luaran dan kekhususan (متشاخص)[4]. Lebih ringkas pada kedudukan ini biasa filusuf mengunakan makna mahiyah ini lawan dari wujud iaitu mahiyah adalah wujud minda manakala wujud adalah wujud luar minda. MAHIYAH A’AM (LEBIH AM) Mahiyah disini

Mahiyah (Keapaan) Suatu Persoalan Falsafah Read More »

Hakikat Kenabian Muhammad SAW

Oleh: Mohd Jamizal Zainol   Setiap tahun kita menyambut Maulidur Rasul bagi mengenang jasa Nabi Muhammad SAW dalam membawa Islam sebagai rahmat kepada seluruh alam. Maulidur Rasul menandakan ingatan kita pada waktu dan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Ianya bukan bermaksud sambutan kelahirannya seperti yang diamalkan oleh agama-agama lain. Jika ianya suatu sambutan seolah-olah Muhammad SAW hanya diingati hanya pada hari lahirnya sahaja. Walhal Muhammad SAW sepatutnya diingati sepanjang waktu. Mengenang jasa Muhammad S.A.W bukan sahaja memahami sejarah perjuangannya membawa Islam sepanjang hidupnya , tetapi perlu memahami (acknowledge) dan mengiktiraf (recognize) hakikat kenabian dan kerasulan Nabi Muhammad SAW itu sendiri. Muhammad SAW itu manusia sempurna (Insan Kamil) yang mempunyai keistimewaan zahir dan batin yang dianugerahkan Allah SWT. Kesempurnaan Muhammad SAW bukanlah terletak pada fizikal sahaja tetapi terletak pada ilmu pengetahuan baginda kepada perkara-perkara metafizik yang tidak mampu dicapai oleh pancaidera dan akal. Ilmu Muhammad SAW mengenai Tuhan, syurga dan neraka, kehidupan selepas kematian, baik dan buruk, perkara yang telah berlaku dan akan berlaku adalah kesempurnaan pengetahuan yang ada pada baginda nabi. Baginda memahami hakikat Wujud secara yakin dan keyakinan itu adalah keyakinan yang benar dan sebenar (Haqqul Yaqin). Fazlur Rahman dalam karyanya Prophecy in Islam: Philosophy and Orthodoxy mengambil pandangan Al-Farabi seorang ahli falsafah Islam yang mengatakan kebolehan seorang nabi dan rasul untuk menerima wahyu apabila jiwanya berhubung dengan Akal Aktif (Active Intelligence). Akal Aktif ini ialah Akal yang diciptakan Tuhan di alam metafizik yang mengandungi segala bentuk dan zat-zat yang tetap bagi setiap sesuatu yang berpotensi untuk diciptakan ke dalam dunia fizikal. Seorang nabi menerima cahaya terus dari Akal Aktif yang membolehkan seorang nabi mampu menerima sesuatu ilmu dan wahyu melalui jiwa dan hatinya tanpa melalui proses dan bantuan luar dalam memperolehi ilmu dan wahyu. Ada yang mengatakan Akal Aktif ini ialah Jibrail a.s. Malah, Muhammad SAW bukan sahaja menerima wahyu malah tahap keyakinannya berada pada kedudukan (maqam dan ahwal) yang tertinggi (Haqqul Yakin) kerana baginda mengetahui hakikat Tuhan itu melalui pengalamannya sendiri di Isra’ dan Mikrajkan oleh Tuhan untuk naik ke langit dan bertemu Tuhan secara jasad dan ruh di Sidratul Muntaha. Inilah antara kelebihan Muhamamd SAW yang tidak diperolehi oleh nabi dan rasul yang lain. Muhammad SAW itu adalah penutup kepada semua nabi dan rasul. Baginda membenarkan segala ajaran yang disampaikan nabi dan rasul terdahulu. Mesej utama yang di bawa oleh semua nabi dan rasul ialah pengiktirafan kepada keesaan Tuhan melalui penyerahan sepenuhnya kepada keesaan Tuhan ini melalui kepatuhan dan ketaatan kepada apa yang disampaikan baginda melalui Al-Quran. “Bukanlah Nabi Muhammad itu menjadi bapa yang sebenar bagi seseorang dari orang lelaki kamu, tetapi ia adalah Rasul Allah dan kesudahan segala nabi-nabi. Dan (ingatlah) Allah adalah Maha Mengetahui akan tiap-tiap sesuatu.”(Al-Ahzab: 40) Tugas utama Muhammad SAW itu mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya. Muhammad SAW sendiri diibaratkan sebagai lampu yang bercahaya kerana baginda mampu menyampaikan hakikat kewujudan kepada seluruh manusia.  Baginda menerangkan hakikat setiap sesuatu benda terutama kepada perkara-perkara yang tidak boleh diungkap oleh pancaindera dan akal. Baginda membenarkan keesaan Tuhan yakni Allah dan membunuh tuhan-tuhan palsu. Baginda menerangkan apa yang baik dan buruk, dengan harapan manusia mengerti yang mana baik dan buruk supaya akhlak manusia menjadi sempurna. Baginda menolak sesuatu yang nisbi dan subjektif kerana setiap perkata itu ada kebenarannya. Ilmu tidak bertitik tolak dari keraguan malah ianya berpunca dari ilmu yang sebenar. Ilmu yang sebenar hanya diperolehi melalui akal yang jernih, pancaindera dan ilham yang tidak bertentangan dengan wahyu.  “Dengan mengutuskan seorang Rasul (Nabi Muhammad SAW) yang membacakan kepada kamu ayat-ayat Allah yang menerangkan kebenaran, supaya Allah mengeluarkan orang-orang beriman dan beramal soleh-dari gelap-gelita (kesesatan) kepada cahaya.” (At-Talaq:11) Muhammad SAW ialah bukti kasih sayang Tuhan terhadap makhluknya. Ini dinyatakan dalam Al-Quran: “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (Al- Anbiya :107)  Secara jelas ayat di atas menyatakan Muhammad SAW bukan hanya diutus sebagai rahmat kepada manusia tetapi juga kepada alam yang lain termasuk alam binatang, alam mineral, dan alam tumbuhan, alam malaikat, alam jin, alam planet-planet dan kesemua alam yang wujud secara fizik atau metafizik. Bukan itu sahaja Muhammad SAW ialah bukti pertolongan Allah kepada Ahli Kitab yang belum mempercayai kenabiannya. Ini dinyatakan dalam Al-Quran: “Hai kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamu lari kebelakang (karena takut kepada musuh), maka kamu menjadi orang-orang yang merugi.”(Al-Maidah: 21) Ayat ini secara jelas menunjukkan Ahli Kitab banyak dibantu oleh Allah SWT dalam memastikan survival mereka di atas muka bumi ini. Buktinya Al-Quran yang diwahyukan kepada Muhammad SAW membenarkan kenyataan ini.  Hanya Muhammad SAW makhluk Tuhan di mana Tuhan dan para malaikat memuji dan berselawat dan merahmatinya sebagai sehebat-hebat manusia. “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (Al-Ahzab:56) Kita memuji Muhammad SAW kerana terhasil daripada kecintaan, hormat dan penghargaan kita kepadanya kerana mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya. Pujian kepada baginda bukan tertumpu kepada waktu dan tempoh tertentu tetapi sepanjang zaman, setiap masa, setiap generasi dan setiap detik tanpa penghujungnya. Malah baginda itu sentiasa dekat dengan diri kita Kita mencontohi dan patuh kepada kata-katanya (qawl) dan segala perbuatannya (fi’l) dan diamnya dalam membenarkan sesuatu (taqrir), Baginda adalah model par excellence kepada manusia sepanjang zaman samaada bagi mereka yang muda, dewasa atau tua. Menurut Prof. Syed Muhammad Naquib Al-Attas dengan adanya baginda, umat Islam tidak menghadapi krisis identiti kerana pada setiap tahap umur kita mempunyai contoh yang tetap melalui kata-kata dan perbuatannya. Ini berbeda sekali dengan Barat yang sentiasa menghadapi krisis indentiti antara generasi kerana mereka tidak mempunyai suatu model yang tetap untuk diikuti kehidupannya. Marilah kita memahami hakikat kenabian Muhammad SAW secara tuntas dan menyeluruh supaya kecintaan kita kepada Muhammad SAW bukan hanya pada zahirnya sahaja tetapi kepada keistimewaan batin yang tertancap pada diri baginda. Baginda adalah Insan Kamil atau Insan yang sempurna kerana suatu sebab yang utama iaitu ilmu Haqqul Yakin yang diperolehi baginda pada perkara-perkara metafizik yang mampu memahami hakikat Wujud dan hakikat Ketuhanan yang benar dan sebenar (Al-Haq) yang mengeluarkan manusia dari keraguan, kegelapan dan kesesatan.  Mohd Jamizal Zainol Penyelidik di Tradisi

Hakikat Kenabian Muhammad SAW Read More »

Mencapai Kebahagian Hidup Dengan Pengkajian Metafizik

Oleh: Mohd Jamizal Zainol Manusia di dunia pasca moden, telah hilang arah dan makna. Kehidupan menjadi kacau bilau dan melelahkan. Manusia menjadi ganas, hilang pertimbangan dan hilang empati. Peperangan, rasuah, membunuh diri dan cinta maddiyah (materialisme) yang menebal adalah penyakit yang semakin membungkam manusia masani. Ini berpunca daripada kehilangan makna kepada hakikat kehidupan. Manusia cuba mencari kebahagian melalui harta benda atau kesedapan jasmaniah atau pengiktirafan pangkat dan gelaran semata-mata. Melihat kehidupan dunia sebagai tragedi penuh dengan penipuan dan tipu daya. Percaya manusia perlu menjadi “ubermensch”, manusia superman yang perlu mencari potensi tertinggi manusia bagi menghadapi tipu daya dan cabaran dunia bagi menentukan kehidupan sendiri sehingga melupa dan membunuh “Tuhan”. Tidak lagi percaya adanya hari pembalasan di alam selepas dunia, tetapi semuanya mesti dihadapi dan dinikmati sekarang. Memeluk erat faham sekular yang percaya kepada semua perkara bersifat subjektif dan nisbi. Untuk itu, manusia ribuan tahun telah mencari makna kebahagiaan tertinggi dan kebaikan terbaik dalam kehidupan dan potensi tertinggi boleh dicapai manusia (summum bonum). Jiwa manusia resah gelisah mencari-cari dalam gelap tentang makna kebahagiaan. Kebahagiaan terletak kepada satu perkataan iaitu Keyakinan (certainty). Keyakinan kepada apa? Kebahagiaan tercapai apabila jiwa dan akal rasional mencapai tahap keyakinan kepada kebenaran dan kenyataan metafizik seperti hakikat ketuhanan, hakikat penciptaan, hakikat ilmu dan sebagainya.  Melalui pengkajian metafizik sahajalah manusia akan menemui kebahagiaan sebenar! Ini bukan perkara yang asing kerana manusia terdiri daripada jasad dan jiwa. Jasad yang kenyang tetapi jiwa yang lapar masih membuatkan manusia menjadi gelisah dan kelam. Hakikat kebahagiaan sebenar bagi manusia ialah kebahagiaan yang dicapai oleh jiwa. Inilah yang membezakan manusia dengan haiwan. Jika hanya kesedapan jasmaniah yang dicari apa bezanya manusia dengan haiwan! Justeru, pengkajian metafizik penting bagi setiap manusia bagi mencapai kebahagiaan sebenar. Pertamanya, perlu difahami asas pengajian metafizik. Kita perlu memahami letak duduk ilmu metafizik ini dahulu sebelum menyentuh isu-isu yang dibahaskan di bawah tajuk besar Metafizik. Metafizik bukanlah mengkaji metafizik itu kosmologinya tebal atau nipis. Yang tebal itu bermasalah yang nipis itu terbaik. Yang tebal itu Neo-Platonisme dan yang nipis itu Ashairah. Apatah lagi dengan memukul rata asal nampak berlapis kosmologinya itu Neo- Platonisme. Neo-Platonisme itu sesat.  Bukan, bukan itu perbahasannya. Metafizik ialah perbahasan ontologi, kosmologi dan psikologi. Apa itu ontologi? Ontologi ialah pengajian tentang Realiti, Kejadian (Being) dan Kewujudan (Existence). Kosmologi ialah pengajian tentang alam semulajadi (tabiah) termasuk perbincangan tentang unsur (matter), ruang (space) dan masa (time) sesuatu evolusi, sains dan pengetahuan tentang dunia. Psikologi pula ialah penelitian tentang masalah jiwa (soul) dan jasad (body) and kesan metafiziknya kepada moral, etika dan agama. Jika mengikut tradisi Islam, pengkajian metafizik perlu meluas merangkumi perbahasan ahli falsafah, ahli Sufi dan ahli Kalam. Menurut Prof Syed Muhammad Naquib Al-Attas dalam karyanya Prolegomena to the Metaphysics of Islam memerikan bahawa pengkajian metafizik adalah pengkajian pandangan tentang Kewujudan yang Hak dan Realiti menurut Islam. Ianya mesti merangkumi kehidupan di Dunia ini dan juga di Akhirat (inilah yang dikatakan hal-hal ghaib atau As- Sam’iyyat seperti syurga dan neraka).  Pengkajian metafizik dalam Islam mesti menjawab persoalan (1) Hakikat Ketuhanan (2) Hakikat Wahyu (3) Hakikat Penciptaan (Creation) (4) Hakikat Manusia (5) Hakikat Jiwa (Soul) (6) Hakikat Ilmu (7) Hakikat Agama (8) Hakikat Kebebasan (Freedom) (9) Hakikat Nilai dan Kebaikan (Values and Virtues) dan (10) Hakikat Kebahagiaan. Kendatipun begitu, pengkajian metafizik mesti berdasarkan Tauhid yakni Tuhan yang Esa sebagai tunjang dan titik tengah perbahasan. Pengkajian metafizik tidak boleh hanya melalui perspektif-perspektif falsafi atau hanya dengan perspektif kalam atau hanya menerusi perspektif Sufi. Dengan pengkajian yang berpecah-pecah ini pengkaji-pengkaji Muslim terbelenggu oleh polemik tiada kesudahan ratusan tahun berkenaan isu sebab-akibat (causality), keterlibatan Tuhan dalam menentukan sesuatu (occasionalism) dan kewujudan konsep tertentu di alam metafizik (universalism) yang mengakibat kesan yang negatif kepada umat Islam antaranya isu kafir mengkafir antara satu sama lain dan ekstremisme. Pengkajian Metafizik mestilah bersepadu melihat semua kekayaan khazanah intelektual Islam dalam hal Metafizik dan membawa kepada suatu bentuk kesatuan dan keluasan pandangan alam (worldview) dalam Islam. Dalam hal ini semua tokoh Islam dalam tradisi Falsafah, Sufi dan Kalam mesti dibaca, dikaji dan dihadami. Tokoh-tokoh seperti Ibn Sina, Al-Farabi, Al-Ghazali, Fakhrudin Al Razi, Al-Iji hatta Mulla Sadra, Suhrawardi, Rumi dan Ibn Arabi perlu di teliti dan dikaji supaya berlakunya kesatuan pandangan dalam hal-hal metafizik bagi membentuk pandangan Islam yang tuntas dalam hal-hal metafizik. Semua tokoh ini seorang Islam dan percaya kepada Tuhan yang Esa dan sudah tentu ahli dan berautoriti dalam tradisi masing-masing kerana idea-idea mereka masih dirujuk oleh para ilmuwan sehingga ratusan tahun. Mengapa pengkajian Metafizik penting terutama dalam zaman edan sekarang? Pengkajian Metafizik penting dalam Islam kerana metafizik bukan hanya ditaakul melalui akal dan pengalaman pancaindera tetapi menaakul perbahasan di dalam agama mengenai realiti dan kebenaran seperti dinyatakan dalam Al-Quran. Ini termasuklah persoalan Lauhul Mahfuz, Qada’ dan Qadar, Arasy dan Qalam yang dinyatakan dalam Al-Quran. Adakah kita tidak berfikir mengapa ianya dinyatakan dalam Al-Quran? Nah, apabila ianya dinyatakan dalam Al-Quran maka ianya harus dikaji dan ini membuktikan bahawa pengkajian metafizik mesti selari dengan Al-Quran.  Faham metafizik yang betul penting kerana tindakan yang betul (right action) hanya dapat dicapai jika ia selari,sepadan dan disahkan dengan realiti Ontologi dan logik kebenaran. Ontologi di sini bermaksud realiti setiap sesuatu (haqa’iq al-ashya’) yang telah ditetapkan setegap-tegapnya dalam Ilmu Tuhan yang dikenali sebagai al-ayan al-thabitah.Tindakan yang betul (right action) itu nanti akan memastikan kita sentiasa beradab. Adab ialah kebolehan meletakkan sesuatu pada tempatnya berdasarkan hakikat sesuatu. Dengan adanya Adab dalam diri manusia maka hikmah akan timbul. Melalui Hikmah ini nantilah seseorang manusia dapat melaksanakan keadilan pada dirinya dan dalam masyarakat.  Pendek kata, peri pentingnya memugarkan semula pengkajian metafizik kerana ilmu inilah nanti berupaya untuk memberikan kebahagian yang sebenar kepada manusia. Ia memberikan keyakinan kepada manusia kepada makna sebenar tentang kehidupan. Untuk itu selamat berfikir dan mengkaji moga kita mencapai kebahagiaan yang sebenar dengan kehidupan di dunia akan terus aman dan harmoni. Sumber: https://www.bharian.com.my/rencana/agama/2022/04/944255/kajian-metafizik-berlandas-islam-bantu-manusia-capai-makna-kebahagiaan Mohd Jamizal Zainol Penyelidik di Tradisi

Mencapai Kebahagian Hidup Dengan Pengkajian Metafizik Read More »

Ayat Wahdatul Wujud (1): Al-Kahf [18]: 38, “Aku Dialah Allah”

Oleh: Ammar Fauzi Heryadi  TAFSIR-SUFI—Di kalangan peneliti, ada upaya peninjauan eksternal (dari luar) terhadap tasawuf dan sufi yang kerap menghubung-hubungkannya dengan tradisi di luar Islam. Namun, kalangan sufi sendiri mengasalkan ilmu dan praktik mereka kepada sumber utama Islam, yakni Alquran. Sebagian mereka meyakinkan tasawuf atau irfan sebagai upaya lain dari tafsir atas Alquran. Pada praktiknya, capaian utama dan tertinggi sufi sepanjang mengungkapkan rahasia pengalaman lembut ruhaninya adalah menafsirkan Alquran. Dalam Ulumul Quran dan Metodologi Tafsir, tafsir sufi diakui dan dikenal sebagai tafsir isyari, tafsir faydhi, takwil dan, agaknya, tafsir batini. Banyak upaya yang dilakukan para sufi untuk mengadaptasikan ajaran dan doktrin tasawuf mereka melalui tafsir Alquran untuk menegaskan bahwa ilmu dan amal mereka masih berada dalam koridor agama. Lebih dari itu, ajaran suluk dan kebenaran sufi justru diyakini dan diyakinkan sebagai lapisan batin dari kebenaran Islam dan Alquran. Klaim ini cenderung memicu reaksi keras dari masyarakat umum dan, sedcara khusus, mengusik “kenyamanan” ulama ahli hukum. Terutama kaitannya dengan doktrin Wahdatul Wujud atau Kesatuan Ada, tidak sedikit sufi yang mempertahankan doktrin ini meski dikafirkan, dipersekusi, diinkuisisi, dipenjarakan bahkan dihukum hingga dieksekusi mati oleh peradilan agamawan. Sebagai capaian tertinggi dari pengalaman dan penempuhan ruhani, Wahdatul Wujud diupayakan klarifikasi dan adaptasinya oleh para sufi sebagai bagian inti atau bahkan representasi autentik dari prinsip Tauhid. Banyak ayat yang diacu untuk menerangkan konsistensi doktrin ini dengan Alquran, kendati kebanyakan ayat itu menunjukkan Wahdatul Wujud secara implisit. Pertanyaannya, apakah ada ayat yang secara eksplisit menyatakan Wahdatul Wujud? Sebangun dengan “Tiada tuhan kecuali Allah”, para sufi merumuskan kalimat Tauhid ini dengan narasi Wahdatul Wujud berikut ini: “Tidak ada apa pun kecuali Allah” (mā tsamma illā Allāh). Allah adalah ada, dan ada adalah Allah. Dalam penjelasan Imam Ghazali, ada pada hakikatnya adalah milik Tuhan, sementara apa saja selain Tuhan tidak memiliki ada kecuali ada pinjaman (al-wujud al-musta’ar). Maka, apa saja selain Allah, pada hakikatnya, bukanlah ada dan tidak nyata. Bila “ada” dipredikatkan dan dinyatakan pada selain Allah, maka predikasi dan pernyataan itu tidak hakiki, tetapi metafor dan kiasan saja. Jadi, perkataan “Aku ada” adalah ungkapan metafor yang makna hakikinya adalah “Aku Tuhan”. Sekali lagi, adakah ayat yang secara eksplisit dan literal menyatakan: “Aku adalah Tuhan”? Sepanjang penelitian singkat, tampaknya tidak ada yang redaksi literalnya menyatakan begitu. Baik sufi maupun ulama dan mufasir non-sufi “nyaris-nyaris” sepakat atas ketiadaan ini. Perumus Wahdatul Wujud, yakni Ibnu Arabi sendiri, hingga Mulla Sadra yang memfilsafatkan doktrin tersebut, sejauh ini, tidak mengajukan satu ayat pun yang secara eksplisit menyatakan “Tidak ada kecuali Allah” atau “Aku adalah Tuhan,” baik dalam karya-karya tafsir, filsafat ataupun tasawuf mereka. Masih sepanjang penelusuran singkat, ada catatan relatif pendek dalam tafsir Al-Furqān fī Tafsīr al-Qur’ān, karya Syaikh Muhammad al-Shadiqi (v. 18, p. 95), yang menebarkan aroma Wahdatul Wujud dari surat Al-Kahf, ayat 38. Sepintas, tampaknya tidak ada yang ganjil dan janggal dalam ayat ini. Penggalan kedua, yakni “dan aku tidak mempersekutukan dengan Tuanku sesuatu apa pun” merupakan kalimat yang lazim dijumpai sepanjang Alquran seperti QS. Al Imran [3]: 64, QS. Al-Nisa’ [4]: 36, QS. Al-Ra’d [13]: 36, QS. Al-Hajj [22] 26, QS. Al-Jinn [72]: 20. Ayat keenam yang datang berikutnya di surat yang sama ini juga mengulang kalimat tersebut. Kesan ini berbeda dengan yang tampak dari penggalan pertama. Sepintas saja mengamatinya sudah cukup mengusik pikiran. Selain tidak ada kalimat dalam ayat-ayat Alquran yang semirip dengan redaksi dari penggalan pertama ayat ini, makna yang tersurat, literal dan harfiah dari ayat itu tampak ganjil, “Tetapi aku Dialah Allah, Tuanku….” Bukan hanya tidak ada pembedaan, tetapi dalam ayat ini justru ada semacam kesamaan, kesatuan dan keidentikan antara aku (manusia) dan Tuhan. Kata-kata sufi, “Aku adalah Tuhan” adalah sepadan dengan “…. aku Dialah Allah.“. Penggalan pertama dari ayat dengan redaksi ini justru merupakan testimoni Wahdatul Wujud yang kerap diulang-ulang oleh sejumlah sufi seperti: Abu Manshur Al-Hallaj di negeri Persia dalam kata-katanya, “ana al-haqq” (aku adalah [Tuhan] Yang Mahanyata), termasuk sufi asal Persia di tanah Jawa, Syekh Siti Jenar, dalam ungkapannya, “manunggaling kawula gusti”. Sampai di sini, jawaban atas pertaanyaan utama sudah diperoleh bahwa ada ayat yang secara eksplisit menyatakan Wahdatul Wujud, dan artikulasi para sufi atas doktrin ini dengan statemen, “Aku adalah Tuhan” merupakan pengulangan atas penggalan pertama dari ayat di atas. Ini dapat diterima sepenuhnya bila dan bila ayat tersebut diterjemahkan dan dimaknai demikian di atas. Maka, yang perlu dan penting dicermati ialah penerjemahan atas ayat: apakah sudah tepat ataukah distorsif? Pertanyaan ini yang akan ditangani sepanjang topik “Makna Literal Ayat dalam Tafsir dan Terjemah Alquran”, Bersambung. Sumber: https://quranika.com/ayat-wahdatul-wujud-1-al-kahf-18-38-aku-dialah-allah/ Ammar Fauzi Heryadi Dosen Sekolah Tinggi Filsafat Sadra

Ayat Wahdatul Wujud (1): Al-Kahf [18]: 38, “Aku Dialah Allah” Read More »

Scroll to Top