News

Pengajian Tasawuf dan Falsafah (siri 4)

𝐓𝐀𝐒𝐀𝐖𝐔𝐅 𝐈𝐁𝐍𝐔 𝐒𝐈𝐍𝐀 “𝐁𝐚𝐛 𝐝𝐞𝐫𝐚𝐣𝐚𝐭-𝐝𝐞𝐫𝐚𝐣𝐚𝐭 𝐩𝐚𝐫𝐚 𝐚𝐫𝐢𝐟-𝐬𝐮𝐟𝐢 𝐚𝐝𝐚𝐥𝐚𝐡 𝐦𝐚𝐭𝐞𝐫𝐢 𝐩𝐚𝐥𝐢𝐧𝐠 𝐩𝐞𝐧𝐭𝐢𝐧𝐠 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐚𝐥-𝐈𝐬𝐲𝐚𝐫𝐚𝐭 𝐰𝐚 𝐚𝐥-𝐓𝐚𝐛𝐢𝐡𝐚𝐭 𝐡𝐢𝐧𝐠𝐠𝐚 𝐬𝐮𝐥𝐢𝐭 𝐝𝐢𝐣𝐮𝐦𝐩𝐚𝐢 𝐤𝐚𝐫𝐲𝐚 𝐬𝐞𝐫𝐮𝐩𝐚 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐤𝐚𝐫𝐲𝐚-𝐤𝐚𝐫𝐲𝐚 𝐓𝐚𝐬𝐚𝐰𝐮𝐟 𝐬𝐞𝐛𝐞𝐥𝐮𝐦 𝐝𝐚𝐧 𝐬𝐞𝐭𝐞𝐥𝐚𝐡𝐧𝐲𝐚.”-Imam Fakhruddin al-Razi  Dalam peradaban ilmu keislaman, Irfan atau Tasawuf merupakan salah satu ilmu tertua. Para arif-sufi berkontribusi dalam pengayaan khazanah Islam. Peranan penting mereka juga dapat diamati dari hubungan Tasawuf dengan Filsafat. Meski Filsafat kerap dipandang rendah bahkan sesat dan kafir oleh sebahagian sufi, namun banyak filosof besar Muslim yang mengapresiasi Tasawuf. Dalam al-Isyarat wa al-Tanbihat, Ibnu Sina secara kreatif dan inovatif bahkan mengakomodasi Tasawuf sebagai bagian penuntas dari Filsafat.  Kendati sudah banyak karya Tasawuf disusun oleh para sufi agung, perumusan kaidah-kaidah Tasawuf dan gugus pencapaian hakikat para sufi dalam karya filosofis Ibnu Sina itu tampak unik dan istimewa.  Sedemikian tertib, koheren dan kokoh Ibnu Sina mendisiplinkan Tasawuf hingga mendesak Imam Fakhruddin al-Razi sebagai kritikus terbesar atas karya Ibnu Sina itu untuk menyatakan objektivitas dan kekaguman intelektualnya: “Bab derajat-derajat para arif-sufi adalah materi paling penting dari al-Isyarat wa al-Tabihat hingga sulit dijumpai karya serupa dari karya-karya Tasawuf sebelum dan setelahnya.” Yang berminat boleh hubungi wakil kami:+60102765631 – MALAYSIA+62 852 8021 7189 – INDONESIA atau terus klik di bawah: https://wa.link/w1lr1c

Pengajian Tasawuf dan Falsafah (siri 4) Read More »

Prolog Ilmu Mantiq

Oleh: Firmansyah Djibran El’Syirazi B.Ed, Lc  Ta’rif (al-ta’rif) secara etimologi berarti pengertian atau batasan sesuatu. Takrif disebut juga al qaul al-syarih (ungkapan yang menjelaskan). Dengan demikian, takrif menyangkut adanya sesuatu yang dijelaskan, penjelasannya itu sendiri, dan cara menjelaskannya. Al-Jurjani menjelaskan pengertian takrif sebagai berikut: عِبَارَةٌ عَنْ ذِكْرِ شَيْئٍ تَسْتَلْزِمُ مَعْرِفَتْهُ مَعْرِفَةَ شَيْئٍ آخَرٍ “Takrif adalah penjelasan tentang penuturan sesuatu, yang dengan mengetahuinya akan melahirkan suatu pengetahuan yang lain.” Takrif juga disebut al-had, yaitu قَوْلٌ دَالٌ عَلَى مَا هِيَةِ الشَّيْئِ “Kalimat yang menunjukkan hakikat sesuatu.” Pengertiam logis tentang persoalan objek pikir merupakan upaya memahami maknanya dalam membentuk sebuah keputusan dan argumentasi ilmiah yang menjadi pokok bahasan mantik. Dan dalam praktiknya mesti menguasai bahan pembentukan takrif, yaitu kulliyah al-Khams. Sedangkan menurut istilah ahli logika (mantiq), ta’rif atau definisi adalah teknik menjelaskan sesuatu yang dijelaskan, untuk diperoleh suatu pemahaman secara jelas dan terang, baik dengan menggunakan tulisan maupun lisan, dan dalam ilmu mantiq dikenal dengan sebutan (qaul syarih). Dalam bahasa Indonesia, ta’rif tersebut dapat diungkapkan dengan perbatasan dan definisi. Ta’rif dibagi menjadi 4 macam, yaitu: 1) Ta’rif Had Ta’rif dengan had, adalah ta’rif yang menggunakan rangkaian lafadz kulli jins dan fashl. Contoh: Manusia adalah hewan yang berfikir. Hewan adalah jins dan berfikir adalah fashl bagi manusia. Ta’rif had ada 2, yaitu ta’rif had tam dan ta’rif had naqish a) Ta’rif Had Tam اَنْ يَكُوْنَ بِالْجِْسِ وَالْفَصَلِ القَرِيْبَيْ “Penjelasan sesuatu (mu’arraf yang didefinisikan) dengan menggunakan jenis qarib dan fashal qarib.” Contoh: Manusia adalah hewan yang dapat berfikir (al-insan hayawan al-nathiq) Hewan adalah jins qarib kepada manusia karena tidak ada lagi jins di bawahnya. Sedangkan dapat berfikir adalah fashal qarib baginya. b) Ta’rif Had Naqish اَنْ يَكُوْنَ بِالْجِْسِ البَعِيْدِ وَالْفَصَلِ القَرِيْبِ اَوْ بِالْفَصَلِ القَرِيْبِ فَقَطْ “Penjelasan sesuatu (mu’arraf yang didefinisikan) dengan menggunakan jenis ba’id dan fashal qarib, atau hanya fashal qarib.” Contoh: Manusia adalah tubuh yang dapat berfikir ( al-insan jism al-nathiq). Jism adalah jins ba’id bagi manusia dan dapat berfikir adalah fashl qarib baginya. Contoh: Manusia adalah yang dapat berfikir (hanya fashal qarib saja). 2) Ta’rif Rasm Ta’rif dengan rasm adalah ta’rif yang menggunakan jins dan ‘irdhi khas. Contoh: Manusia adalah hewan yang dapat tertawa. Hewan adalah jins dan tertawa adalah ‘irdhi khas (sifat khusus) manusia. Ta’rif rasm ada 2, yaitu ta’rif rasm tam dan ta’rif rasmnaqish a)Ta’rif Rasm Tam اَنْ يَكُوْنَ بِالْجِْسِ القَرِيْبِ وَالْخَاصَّةِ “Penjelasan sesuatu (mu’arraf yang didefinisikan) dengan menggunakan jenis qarib dan khashah.” Contoh: Manusia adalah hewan yang mampu belajar kitab. Hewan adalah jins qarib bagi manusia, sedangkan mampu belajar kitab adalah khashah baginya. b)Ta’rif Rasm Naqish اَنْ يَكُوْنَ بِالْجِْسِ البَعِيْدِ وَالْخَاصَّةِ اَوْ بِالْخَاصَّةِ فَقَطْ “Penjelasan sesuatu (mu’arraf yang didefinisikan) dengan menggunakan jenis ba’id dan khashah atau dengan khashah saja.” Contoh: Manusia adalah jism (tubuh) yang bisa ketawa. Jism adalah jins ba’id bagi manusia dan bisa tertawa adalah khashah baginya. Contoh: Manusia adalah yang tertawa.(dengan khashah saja) 3) Ta’rif dengan Lafadz تَبْيِيْنُ الشَّيْئِ بِالَّفْظِ اَوْ ضَحُ مِنْهُ “Penjelasan sesuatu (mu’arraf yang didefinisikan) dengan menggunakan kata muradif (sinonim) yang lebih jelas dari mu’arraf.” Contoh: الْيَرَعُ هُوَ الْقَلَمُ “Sesuatu yang menyerupai bambu runcing adalah pena.” الْغَنَفَرُ هُوَ الاَسَدُ “Singa jantan adalah singa.” 4) Ta’rif dengan Mitsal َبْيِيْنُ الشَّيْئِ بِمِثَالِهِ “Penjelasan sesuatu (mu’arraf yang didefinisikan) dengan menggunakan contohnya.” Contoh: subjek (fail) itu seperti “mahasiswa” dalam ucapan “mahasiswa telah datang”. SYARAT-SYARAT TA’RIF Ta’rif menjadi benar dan dapat diterima, jika syarat-syaratnya terpenuhi, antara lain: 1) Ta’rif harus jami’ mani’ (muththarid mun’akis) Secara lughawi, jami’ berarti mengumpulkan dan mani’ adalah melarang. Dalam ilmu mantik, jami’ berarti mengumpulkan semua satuan yang dita’rifkan ke dalam ta’rif. Sedangkan mani’ berarti melarang masuk segala satuan hakekat lain dari yang dita’rifkan ke dalam ta’rif tersebut. Oleh Karena itu, ta’rif tidak boleh lebih umum atau lebih khusus dari yang dita’rifkan. Contoh: SYARAT-SYARAT TA’RIF Ta’rif menjadi benar dan dapat diterima, jika syarat-syaratnya terpenuhi, antara lain: 1) Ta’rif harus jami’ mani’ (muththarid mun’akis) Secara lughawi, jami’ berarti mengumpulkan dan mani’ adalah melarang. Dalam ilmu mantik, jami’ berarti mengumpulkan semua satuan yang dita’rifkan ke dalam ta’rif. Sedangkan mani’ berarti melarang masuk segala satuan hakekat lain dari yang dita’rifkan ke dalam ta’rif tersebut. Oleh Karena itu, ta’rif tidak boleh lebih umum atau lebih khusus dari yang dita’rifkan. Contoh: Manusia adalah hewan yang berakal. 2) Ta’rif harus lebih jelas dari yang dita’rifkan (an yakuna audlah min al-mu’raf). 3) Ta’rif harus sama pengertiannya dengan yang dita’rifkan. Karena itulah ta’rif tidak dianggap benar dan tidak bisa diterima sebagai ta’rif (definisi), jika keadaannya tidak sama dengan yang didefinisikan. 4) Ta’rif tidak berputar-putar. Maksudnya jangan sampai terjadi ta’rif dijelaskan oleh yang dita’rifi (an yakuna khaliyan min al-dawar). 5) Ta’rif bebas dari penggunaan kata majazi dan kata yang mngandung banyak makna (an yakuna khaliyan min al-majaz wa al-musytarakat). Ta’rif (Definisi) Dalam Wacana Para Ahli Logika dan Filosof Dalam kaitannya dengan klasifikasi ta’rif (definisi) dan kriterianya seperti tersebut di atas, maka para ahli logika berpendapat bahwa hal-hal yang tidak boleh dimasukkan ke dalam ta’rif (definisi) adalah sebagai berikut: 1) Masalah hukum Hal ini tidak bisa dimasukkan ke dalam wilayah ta’rif (definisi) had, baik ta’rif had tam maupun had naqish. Contoh: Tarkib HAL (حال) adalah isim yang dibaca nashab yang menjelaskan tentang prilaku dan keadaan. Definisi seperti ini, tidak dibenarkan oleh para ahli logika, sebab nashob adalah masalah hukum dari suatu struktur kalimat atau tarkib dalam istilah ilmu nahwu. 2) Masalah lafal AW (او), yang biasa dipakai untuk pembagian (taqsim / (لِتَقْسِيْمٍ وَ تَنَوُّعٍ Hal ini tidak boleh dimasukkan ke dalam wilayah ta’rif (definisi) had, baik ta’rif had tam maupun had naqish. Akan tetapi boleh dimasukkan ke dalam wilayahta’rif (definisi) rosm, baik rosm tam maupun rosm naqish. Contoh: i). lafal AW tidak boleh masuk wilayah ta’rif had, seperti: manusia adalah binatang atau hewan yang berfikir atau tertawa atau bisa berbicara. ii). Lafal AW dalam ta’rif rosm, seperti: Manusia adalah hewan yang bisa tertawa atau menangis atau berfikir. Dengan demikian, para ahli logika berpendapat bahwa definisi yang dianggap paling sempurna adalah ta’rif had tam. Sekalipun demikian, para filosof berpendapat bahwa untuk mendapatkan definisi had tam dari segala sesuatu itu, harus mengenal lebih dahulu esensi segala sesuatu tersebut, sebab apa saja yang dianggap sebagai had tam, misalnya dalam mendefinisikan manusia dan

Prolog Ilmu Mantiq Read More »

Memugar Semula Kefahaman Hakikat Ketuhanan

Oleh: Mohd Jamizal bin Zainol Kita telah tiba di Bulan Rejab. Ini bermakna kita sudah semakin hampir dengan Bulan Ramadhan bulan yang penuh kemuliaan bagi umat Islam. Bulan Rejab juga bulan yang istimewa kerana sabda Nabi Muhammad SAW “Bulan Rajab bulan Allah, bulan Sya’ban bulanku, dan bulan Ramadhan bulan umatku.” Dengan tibanya bulan Rajab ini marilah kita sama-sama mengukuhkan lagi kefahaman kita tentang hakikat Ketuhanan kerana perkara aqidah ialah perkara paling asas dalam membentuk pandangan alam kita sebagai umat Islam. Manusia ini diciptakan dengan dasar pengetahuan a priori percaya wujudnya suatu kuasa tertinggi yang mentadbir alam ini. Tidak ramai manusia sebenarnya yang tidak percayakan Tuhan dengan menjadi seorang ateis. Namun, yang menjadi masalahnya bukan tidak percaya wujudnya Tuhan tetapi kekeliruan tentang konsep Tuhan itu sendiri. Apa itu Tuhan? Adakah ianya berjisim? Adakah Tuhan mempunyai sifat-sifat tertentu? Adakah Tuhan itu bersama dengan alam? Adakah Tuhan itu diluar Alam? Apakah perbuatan Tuhan? Ini semua adalah persoalan-persoalan biasa yang akan ditanyakan oleh setiap manusia yang mempunyai akal jernih. Di sinilah pentingnya untuk kita memahami konsep ketuhanan yang sebenar supaya pandangan alam kita mengakar kukuh dan tidak dapat diganggu gugat dengan pelbagai kekeliruan dan isme-isme miring yang jika tidak berhati-hati akan merosakkan aqidah. Ilmuwan Islam, Tan Sri Prof. Syed Muhammad Naquib Al-Attas dalam magnum opusnya Prolegomena to the Metaphysics of Islam telah menggariskan beberapa asas kefahaman yang boleh menjadi rujukan umat Islam bagi memahami hakikat ketuhanan yang sebenar menurut Al-Quran. Al-Quran sebagai Kalam Tuhan adalah sumber utama bagi memahami hakikat ketuhanan. Dalam Al-Quranlah Tuhan menerangkan hakikat-Nya melalui-Nya dan ianya boleh dicapai melalui penalaran aqal dan intuisi dan dalam beberapa keadaan dapat difahami melalui pengalaman intuisi yang hanya berupaya dilalui oleh sebilangan orang yang diberikan kelebihan itu oleh Tuhan. Paling penting perlu ditancapkan oleh semua umat Islam ialah premis bahawa Tuhan yang difahami oleh Islam adalah tidak sama dengan kefahaman Tuhan oleh agama-agama atau kebudayaan lain di dunia ini. Ia juga tidak sama dengan dengan konsep Tuhan yang difahami oleh orang-orang Greek dan penganut falsafah Hellenistik ataupun konsep Tuhan yang difahami oleh falsafah Barat atau Sains. Faham konsep ketuhanan dalam Islam juga tidak sama dengan Tuhan yang difahami oleh tradisi-tradisi mistik Timur. Jika ada pun persamaannya ia bukanlah bermakna kefahaman itu sama kerana Tuhan yang difahami mereka adalah berasaskan sistem dan konsep yang sama sekali berlainan dengan Islam. Misalnya ada yang menyamakan Tuhan semua agama atas alasan kesatuan Tuhan dan oleh itu agama itu semuanya sama. Ini adalah faham yang keliru dan salah. Bagi mereka di peringkat alam metafizik semuanya menyembah Tuhan yang sama dan dari Tuhan yang satu dan sama inilah terjelma di alam fizik ini pelbagai agama. Bagi mereka semua agama ini menyembah Tuhan yang sama di alam metafizik. Ini bukanlah faham ketuhanan dalam agama Islam. Islam percaya di peringkat metafizik, semua manusia mengiktiraf Tuhan hanyalah sebagai Rabb. Malah Iblis juga mengiktiraf Tuhan sebagai Rabb diperingkat ini. Tetapi Islam mempercayai mengiktiraf Tuhan sebagai Rabb di alam metafizik mestilah dijelmakan pula dengan penerimaan manusia akan Tuhan di peringkat dunia fizikal yakni Tuhan sebagai Ilah.  Jika hanya mengiktiraf Tuhan sebagai Rabb apa bezanya dengan Iblis yang membuat pengiktirafan yang sama tetapi ingkar dengan perintah Tuhan. Penerimaan Tuhan sebagai Ilahinilah yang membezakan Islam dengan agama, tradisi dan falsafah-falsafah yang lain. Penerimaan Tuhan sebagai Ilah di dunia fizikal ini bermaksud tidak menyekutukan Tuhan dengan makhluk, dan beribadat atau melakukan penyerahan (submission) kepada Tuhan melalui kaedah dan cara yang diterima oleh Tuhan yang diajarkan oleh para Nabi. Pengiktirafan Tuhan sebagai Rabb dan menerima Tuhan sebagai Ilah inilah yang melengkap kefahaman kita kepada hakikat Ketuhanan yang sebenar. Maka, mengatakan semua Tuhan dan agama adalah sama adalah suatu kesilapan dan kekeliruan yang perlu diperbetulkan. Pengertian sifat Tuhan dalam Islam adalah penyempurnaan dari apa yang diturunkan kepada para Nabi. Menurut Al-Qur’an, Tuhan itu Esa ,hidup, berdiri sendiri, kekal dan teguh. Wujud adalah dzatnya. Dia adalah satu pada zatnya. Tiada boleh dipecah-pecahkan pada zatnya, sama ada dalam imaginasi, dalam realiti, atau dalam sebarang andaian. Tuhan bukanlah zat dimana sifat-sifat tertentu diletakkan pada zatnya atau sesuatu yang terbahagi-bahagi kepada bahagian-bahagiannya, dan bukan sesuatu yang membentuk sesuatu yang lain. Dengan kata lain Tuhan yang Esa ini adalah suatu yang mutlak. Tuhan yang difahami Islam bukanlah seperti faham panteisme yang menyamakan Tuhan dengan alam dan Tuhan itu wujud bersama dengan alam ini. Tuhan itu menciptakan makhluknya dan alam ini adalah makhluknya, mana mungkin Tuhan itu sama dan menyatu dengan alam yang berstatus makhluk. Tuhan memiliki sifat-sifat yang nyata pada dirinya tetapi sifat-sifat itu bukanlah dirinya dan sifat-sifat itu juga bukanlah sesuatu yang lain dirinya. Misal yang paling mudah untuk memahaminya, kita ambil contoh Ali sebagai seorang manusia , Ali juga adalah seorang bapa, seorang guru dan seorang pemain badminton yang handal. Tetapi sifat-sifat itu bukanlah Ali yang sebenarnya dan sifat-sifat Ali sebagai bapa, seorang guru dan pemain badminton juga bukanlah sifat yang lain dari Ali itu sendiri sebagai seorang manusia. Tuhan bukanlah seperti konsep Tuhan yang difahami oleh Aristotle sorang ahli failasuf Greek yang cukup berpengaruh dalam tamadun Barat. Bagi Aristotle, Tuhan hanyalah sebagai Penggerak Pertama (First Mover). Selepas itu, alam ini akan bergerak dengan sendiri tanpa campur tangan Tuhan lagi. Ini sangat berbeda dengan konsep Tuhan dalam Islam di mana Tuhan bertindak seperti agen bebas yang terlibat dalam penciptaan berterusan setiap detik dan dalam masa yang sama dalam penciptaan setiap detik itu, Tuhan tidak tertakluk dengan masa dan tempat yang mengubah zatnya atau mentransformasi zatnya menjadi sesuatu yang lain. Tuhan itu juga sangat suci untuk disamakan dengan tuhan yang difahami oleh Plato yang terdiri dari bentuk dan jisim (form and matter) mahupun cara penciptaan Tuhan secara emanasi seperti matahari dengan cahayanya seperti yang difahami oleh Plotinus. Sebaliknya penciptaan Tuhan adalah dengan memberikan kewujudan kepada semua realiti-realti yang telah ditetapkan oleh Tuhan dalam ilmu Tuhan (A’yan Thabitah) dengan kekuasaan dan kehendaknya Kun Fa Ya Kun dengan Tuhan mengatakan ianya jadi maka semuanya akan wujud dan terjadi. Pendek kata, ilmu-ilmu asas kepada hakikat ketuhanan yang telah dihuraikan di atas  perlu menjadi pegangan seerat-eratnya dan digigit oleh gigi geraham supaya ianya kukuh mengakar dalam kalbu kita sebagai umat Islam. Jika ini difahami secara kukuh, pandangan alam kita kepada perkara-perkara lain seperti faham kenabian, faham wahyu, faham kebahagiaan , faham keadilan,

Memugar Semula Kefahaman Hakikat Ketuhanan Read More »

Menggali Wahdatul Wujud daripada Terjemah Al-Quran (1): Metod

 Oleh: Ammar Fauzi Heryadi TAFSIR-SUFI–Salah satu ajaran yang lazim disoroti kontroversial di dunia kesarjanaan Islam adalah Wahdatul Wujud, yaitu doktrin Kesatuan Ada yang beredar populer di banyak kalangan sufi dan menjadi identitas mereka sejak dirumuskan secara sistematis oleh Ibnu Arabi dan terutama oleh muridnya, Shadruddin al-Qunawi (Dana, 2019). Sebelum dan setelah mereka, penganut Wahdatul Wujud bangga dengan doktrin ini sebagai prestasi tertinggi dari pengalaman mereka mencapai asas Tauhid. Nama-nama besar seperti: Abu Manshur Hallaj di Baghdad, Najmuddin Kubra Al-Razi di Khurasan, atau Syeikh Siti Jenar di Jawa bahkan ikhlas menerima antara dihukum mati atau mati dalam penjara. Sederhananya, Wahdatul Wujud ialah doktrin yang memastikan, dengan pengalaman ruhani dan mata hati, bahwa Ada (wujud) itu hanya satu, yaitu Allah Al-Haqq. “Para pengenal (al-‘arifun), setelah mencapai langit hakikat, sepakat bahwa mereka tidak melihat dalam realitas kecuali Yang-Satu Mahanyata.” (Ghazali, 1986, p. 139). Ada [1], keberadaan, kenyataan, realitas atau apa pun kita menyebutnya adalah identik dengan Allah; Ada adalah Allah dan Allah adalah Ada. Doktrin Tauhid ini menjadi bulat dengan penegasan sufi atas konsekuensinya bahwa apa saja selain Allah sesungguhnya tidak ada kecuali hanyalah tampakan (tajalli) Ada-Nya. Satu keping dua sisi Tauhid ini adalah hakikat yang dicapai di puncak penyucian jiwa dan suluk (penempuhan ruhani) dalam kerangka syariat. Sebaliknya, doktrin Wahdatul Wujud itu kerap menjadi referensi sebagian kalangan untuk menjatuhkan hukum haram, bid’ah, sesat bahkan kafir ke atas penganutnya. Artinya, sebagian muslim menghukumi sesat/kafir muslim lain yang merasa paling beriman, yakni meyakini tauhid tertinggi. Pada saat yang sama, semua pihak sepakat mengklaim diri mereka sebagai pemegang tulus asas Tauhid. Mereka juga sama-sama menempatkan Alquran sebagai basis utama membangun argumentasi atas klaim masing-masing. Lalu, bagaimana Alquran sendiri menilai sikap dan keyakinan dari dua kelompok yang mengklaim diri sama-sama percaya pada Alquran? Apakah doktrin Wahdatul Wujud itu dapat digali dari rahim Alquran ataukah justru merupakan pemahaman bid’ah yang dicari-cari pembenarannya dari Alquran? METODE Sebelum menggali kandungan Wahdatul Wujud dari dalam ayat Cahaya, perlu segera dikemukakan metode penggaliannya. Metode ini setidaknya tidak jauh dari metode sebagian kalangan penentang Wahdatul Wujud itu sendiri dalam memahami teks suci agama, yaitu metode literalisme (al-dzahiriyyah) (Shirafkan, 2018), bahkan dalam bentuknya yang paling elementer, yakni di tahapan penerjemahan dan sebelum penafsiran. Atas dasar metode ini, telaah atas Wahdatul Wujud ditempuh dengan menganalisis makna harfiah yang diperoleh dari sekedar penerjemahan literal atas ayat Cahaya. Berpijak di atas tiga doktrin tasawuf, yakni (a) di balik setiap zahir ada batin, (b) batin tidak bertentangan dengan zahir, dan (c) zahir merupakan jembatan menjangkau batin (Roudgar, 2018, p. 290), maka pijakan ini juga berlaku dalam memahami teks suci. Dengan demikian, setiap teks suci memiliki makna zahir dan makna batin, di antara dua makna ini tidak ada pertentangan, dan untuk menjangkau makna batin harus melalui zahir. Maka, makna zahir adalah satu-satunya pintu masuk menelusuri kandungan batin ayat, dan dari makna zahir itu pula penelusuran dan penggalian dimulai. Makna zahir yaitu makna tersurat, makna literal, makna harfiah, makna yang pertama kali terlintas dalam pikiran (al-tabadur fi al-dzihn) dari sekedar membaca teks. Sesuai kaidah hujjiyyat al-dzuhur (validitas makna zahir) dalam Ushul Fiqih, makna zahir yang diperoleh dari teks dapat dijadikan pegangan (al-Shadr, 1989, p. 147; al-Zaruqi, 2017, p. 894). Pola lazim dan jenjang awal dari memaknai teks secara literal adalah penerjemahan, yakni pemadanan satu kata dalam teks asli dengan kata lain di teks tujuan berdasarkan makna harfiahnya (Fauzi, 2020, p. xxiv). Karena itu, pertama, kandungan ayat Cahaya akan digali dengan mengacu kepada terjemahan ayat sebagai makna paling literal untuk dijadikan titik tolak penggalian dan penafsiran sufistik. Kedua, terjemah relatif berbeda dengan tafsir, yakni pertama-tama mengganti kata asli dalam bahasa asal dengan kata padanan dalam bahasa sasaran berdasarkan makna harfiahnya kemudian menafsirkannya, dan tafsir berperan menjelaskan maksud dari makna tersebut. Ketiga, kendati sulit, penerjemahan literal (harfiah) sebagian besar Alquran tidak mustahil terlaksana, sebagaimana yang ghalib diterapkan oleh Departemen Agama dalam Alquraan dan Terjemahnya (Hanafi, 2011). Setidaknya, metode terjemah literal ini dapat sepenuhnya berlaku pada ayat Cahaya. Uniknya, metode literalisme ini tidak tampak dalam penerjemahan Kementerian Agama RI atas ayat yang sama. Baik dalam Al-Qur’an dan Terjemahnya (2010) juga dalam Al-Qur’an dan Tafsirnya (Departemen Agama RI, 2010, v. 6, p. 604), ataupun dalam bentuk aplikasi Android versi terbaru (2018), penggalan awal ayat Cahaya diterjemahkan begini: “Allah adalah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi”. Ini agaknya sudah bukan terjemahan lagi, tetapi tafsiran dari penerjemah. Dalam ayat tidak ada kata Arab yang bisa dipadankan dengan ‘pemberi’ sehingga, suka atau tidak, penerjemah terdesak untuk juga memasukkan kata ‘kepada’. Karena itu, dalam terjemahan tersebut, kata ‘pemberi’ dan ‘kepada’ diletakkan dalam tanda kurung sebagai tafsiran dari penerjemah. Bertolak dari metode ini, penggalian Wahdatul Wujud akan berlangsung sepanjang beberapa topik berikut: Sekilas saja mencermati penggunaan kata nur (cahaya) di sepanjang Alquran, akan dijumpai banyak makna tafsiran, di antaranya Islam, petunjuk, kebenaran, nabi, Alquran, bukti, ilmu, iman, keadilan, termasuk sinar empirik seperti sinar bulan. Bersambung ke “Isyarat Literal Ayat Cahaya: Menggali Wahdatul Wujud dari Terjemah Alquran (2): Cahaya Allah atau Cahaya Makhluk” ————— [1] Kata “Ada” dicetak dengan awalan A besar untuk secara konsisten dikonvensi sebagai padanan kata benda untuk kata Arab wujud, sinonim dengan keberadaan, kenyataan, eksistensi. Kata “Ada” ini berbeda dengan “ada” sebagai kata kerja atau kata sifat yang sinonim dengan kata terdapat dan nyata. Ini kurang lebih mirip dengan konvensi yang dilakukan oleh filosof Barat dalam membedakan Being dan being. Ammar Fauzi Heryadi, Penasihat TRADISI, Dosen Sekolah Tinggi Filsafat Sadra

Menggali Wahdatul Wujud daripada Terjemah Al-Quran (1): Metod Read More »

Syarahan Buku The Reconstruction of Religious Thought in Islam

Syarahan Buku 10 Siri “The Reconstruction of Religious Thought in Islam”, Muhammad Iqbal.    Syarahan buku ini akan membaca secara talaqqi karya besar Allama Muhammad Iqbal yang akan dilakukan secara fizikal. Pembacaan akan dipimpin oleh Sdr Mohd Jamizal Zainol Timbalan Pengerusi TRADISI dan Pengerusi Yayasan Peace .  Semasa pembacaan akan disyarahkan setiap baris karya tersebut dan perbincangan juga amat digalakkan bagi percambahan idea dan pandangan. Syarahan ini dijangka akan diadakan sebanyak 10 sesi yang akan membaca karya ini dari kulit ke kulit. Peserta akan dibawa bersama untuk mengunyah isi karya besar ini untuk dihadamkan dan sekaligus meningkatkan kefahaman kita berkenaan pemikiran Islam. Dalam Reconstruction, Allama Muhammad Iqbal menyeru kepada menilai semula sudut pandang kita kepada asas-asas pemikiran dalam falsafah Islam terutamanya dari sudut epistemologi . Karya ini ialah karya besar dalam pemikiran Islam  di era moden. Ia mempengaruhi beberapa orang pemikir lain seperti Ali Shariati dan Tariq Ramadhan.  Maklumat lanjut dan pendaftaran boleh layari www.tradisimy.com Klik untuk daftar: https://wa.link/0gq11o

Syarahan Buku The Reconstruction of Religious Thought in Islam Read More »

Hakikat Konsep Malaysia Madani

Oleh: Mohd Jamizal Zainol   Sesuatu yang menarik apabila YAB Perdana Menteri Malaysia ke-10 Datuk Seri Anwar Ibrahim telah mengemukakan suatu kompas dan dasar yang jelas dalam memacu pentadbiran Malaysia sekarang. Beliau telah membawa ketengah konsep Malaysia Madani yang selepas ini akan diwacanakan secara intensif dan dicerakinkan untuk diserapkan dalam pentadbiran negara terutama dalam polisi dan undang-undang negara. Bukan suatu konsep yang baru malah telah digagaskan awal lagi oleh para ahli falsafah dan cendekiawan terdahulu seperti Al-Farabi dan yang paling muassir oleh Prof. Tan Sri Syed Muhammad Naquib Al-Attas sendiri.  Prof Al-Attas dalam syarahan beliau di UKM pada tahun 1996 di mana beliau mengungkapkan Madani ini berasal dari perkataan Madinah. Suatu kalimat yang disebut di dalam Al-Quran bagi mengisahkan bagaimana Rasullullah SAW yang berhijrah ke Yathrib telah menukar nama bandar Yathrib kepada Madinah. Beliau menerangkan bahawa kata akar Madinah itu adalah berakar kepada perkataan “Deen” yang bermaksud agama. Rasullulah yang membawa mesej agama Islam menukar nama Yathrib kepada Madinah atas satu tujuan iaitu untuk mengatakan di Madinahlah di mana faham agama Islam akan “dijelmakan” sebagai dasar pentadbirannya di Madinah. Sudah tentu pentadbiran berasaskan agama atau madani ini berbeda dengan konsep-konsep pentadbiran yang kita fahami sekarang seperti demokrasi hatta kapitalisme pekat. Madani sekaligus menolak faham sekular yang menolak asas-asas faham metafizik seperti ketuhanan, kenabian, hari akhirat , qada’ dan qadar yang terangkup ke dalam faham falsafah moral dan etika. Dalam erti kata lain Madani ialah suatu dasar pentadbiran yang berasaskan faham agama yang memeluk erat faham metafizik dengan memberikan penekanan kepada akhlak dan moral sebagai dinding tebal yang menjaga faham kita dalam perkara-perkara penting dalam bernegara hak asasi manusia, keadilan ekonomi, pembangunan mapan termasuk penjagaan alam sekitar. Persoalan etika sangat penting dalam negara. Penting kerana ianya akan memandu pembuat polisi dan undang-undang bagi menentukan samaada polisi dan undang-undang itu itu baik. Baik itu juga menjadi persoalan sama ada baik untuk negara atau baik untuk rakyat. Inilah yang menjadi pergulatan pemikiran para ahli falsafah sejak dahulu hingga sekarang.  Negara kita memerlukan moral kompas sendiri. Suatu moral kompas yang bersesuaian dengan negara yang jamak budaya, kaum dan Islam sebagai Agama Negara. Sudah tentu Islam menjadi panduan yang meletakkan nilai-nilai tertentu untuk ditaati oleh Kerajaan. Misalnya nilai keadilan, tidak zalim, tidak ekstrem dalam sesuatu, berjimat cermat dan banyak lagi nilai-nilai yang lain. Walau bagaimanapun, nilai-nilai ini masih subjektif dan memerlukan penaakulan dan rasional manusia untuk menentukannya. Apakah yang dikatakan adil? Kita ambil contoh undang-undang Akta Keselamatan Dalam Negeri (ISA) suatu undang-undang pencegahan yang ketika dahulu masih berkuatkuasa di Malaysia. Adakah ISA ialah suatu undang-undang adil? Ramai yang percaya bahawa ISA adalah undang-undang yang zalim kerana kerajaan boleh menahan seseorang tanpa bicara. Tetapi ramai yang tidak sedar bahawa ISA adalah undang-undang pencegahan bagi mengelakkan berlakunya bencana yang lebih dahsyat. Isunya pihak manakah yang boleh menentukan bahawa seseorang itu berpotensi melakukan keganasan?  Saya percaya hanya kerajaan yang mempunyai maklumat dan risikan berkenaan keselamatan negara. Maka, kerajaan diberi kepercayaan oleh rakyat melalui ISA untuk digunakan sebagai undang-undang pencegahan bagi membendung kemusnahan yang lebih besar. Masalah pelaksanaannya yang tidak adil adalah masalah pentadbiran yang boleh diperbaiki. ISA secara ipso facto adalah undang-undang yang baik terutama dalam negara yang pluralistik dan banyak persoalan sensitif seperti Malaysia. Ahli falsafah sentiasa cuba memecahkan persoalan etika ini sekian lama. Plato memberikan pandangan bahawa Athens jatuh akibat daripada sifat skeptikal pada persoalan etika oleh para Sofis yang percaya kepada nilai-nilai yang subjektif. Sebenarnya kita adalah produk kepada masyarakat di sekeliling kita. Nilai-nilai diri kita dibentuk oleh masyarakat dan negara kita. Aristotle mengatakan manusia secara fitrahnya ialah binatang politik kerana manusia itu memerlukan masyarakat dan tidak berupaya untuk hidup bersendirian. Mahu tidak mahu nilai dirinya akan dipengaruhi oleh masyarakat. Manusia dari semasa ke semasa akan sentiasa berfikir dan merenung adakah nilai-nilai moral yang ada pada dirinya adalah sesuatu yang dipercayainya atau dibentuk oleh masyarakat sekeliling. Inilah persoalan moral dan etika yang sentiasa bermain dalam fikiran manusia.  Saya juga boleh bersetuju dengan pandangan seorang ahli falsafah Jerman Hegel yang mengatakan kehidupan moral kita boleh dibangunkan oleh kita sendiri hanya dengan berperilaku sesuai dengan prinsip moral yang diterimapakai oleh masyarakat kita sendiri dan dalam insititusi yang telah dibina. Kehidupan moral kita adalah sama dengan kepercayaan, tujuan peribadi, dan falsafah kita sendiri. Kita adalah seorang pengembang budaya di dalam kehidupan politik dan ekonomi serta dalam institusi agama dan sistem nilai masyarakat kita. Nilai moral dalam negara bangsa sahaja yang memberikan nilai moral yang sebenarnya. Dalam hal ini, Malaysia mempunyai nilai moral sendirinya iaitu prinsip-prinsip moral dan etika yang digariskan oleh Islam kerana Islam ialah Agama Negara. Apabila wujudnya konsep bernegara, maka negara juga akan berfungsi untuk menentukan samaada sesuatu itu secara undang-undangnya betul atau salah. Dalam hal ini, undang-undang dan moral adalah dua tajuk atau maudu’ yang berlainan. Permasalahan pertama ialah pertentangan antara masalah etika yang terbentuk oleh nilai masyarakat dan etika yang dibentuk oleh diri sendiri. Permasalahan etika bermula dengan masalah ini. Cuba kita bertanya diri kita tentang persoalan ini. Saya tahu bahawa membunuh itu salah. Adakah kita tahu bahawa membunuh itu salah atau kita percaya membunuh itu salah? Persoalannya adakah kita tahu? Atau kita percaya? Saya ingin bertanya soalan lagi bolehkah jika kita katakan bahawa persoalan moral itu sebenarnya dibentuk oleh diri kita sendiri? Dua bentuk nilai etika dan moral yang saya dapat kategorikan di sini ialah masyarakat yang mempercayai moral yang relatif atau moral yang objektif dan absolut. Masyarakat yang berpegang kepada moral yang relatif percaya nilai moral itu pelbagai dan bergantung kepada masyarakat setempat, budaya dan negara. Misalnya dalam masyarakat yang berpegang kepada nilai feminisme dan esktrimis agama mempunyai pandangan yang berbeza terhadap isu pengguguran. Jika semua nilai moral itu bersifat relatif ini sudah tentu menimbulkan kerisauan. Kerisauan kerana kegagalan untuk menentukan yang mana satu yang benar dan yang mana satu pandangan dan nilai moral yang salah? Ini menimbulkan kerungsingan pada ahli falsafah yang percaya nilai moral mesti ada yang objektif. Saya ambil contoh semua masyarakat percaya mengorbankan bayi itu adalah salah. Cuma yang bahayanya nilai moral yang objektif bagi sesetengah ahli falsafah ialah akan adanya suatu kuasa budaya yang akan menetapkan sendiri nilai moral

Hakikat Konsep Malaysia Madani Read More »

Pengajian Tasawuf dan Falsafah (siri 3)

Apakah Ada (wujūd)? Adakah Ada? Mengapa Ada mengada? Apa relasi antara Ada (wujud) dan yang-ada (mawjūd)? Ini beberapa pertanyaan utama yang mengawali sekaligus menjadi poros filsafat, atau tepatnya Filsafat Pertama (al-falsafah al-‘ūlā) sebagai ilmu disiplin ilmu dalam tradisi Islam. Kedudukan topik Ada ini diingatkan oleh Ibnu Sina melalui testimoni Mulla Sadra, “Tidak mengenal ada, maka tidak mengenal apa-apa.” Meski filsafat Islam bertransformasi secara evolusioner, setidaknya, dalam tiga mazhab utama, namun seluruhnya berada dalam arus utama dengan dua tepi: rasionalitas dan spiritualitas, dengan nalar dan wahyu, anpa kehilangan pangkal dan akarnya, yakni realitas dan Ada.  Tentunya, studi filosofis kontemporer juga kian kokoh dan menjadi bagian mutakhir dari tradisi filsafat Islam dengan juga secara konsisten merujuk khazanah serta pemikiran filosof terdahulu. Ibnu Sina dan salah satu karya monumentalnya, yakni al-Isyārāt wa al-Tanbīhāt, ini merupakan satu dari sekian alternatif yang kredibel dan relevan. Dari memulai kajian? Dari pertanyaan-pertanyaan di atas melalui dua kata kunci: wujud dan mahiyah, atau ada dan apa. Kepada yang berminat turut serta boleh hubungi:  https://wa.link/gb6wy9 Tarikh tutup penyertaan pada 15 Januari 2023. (Bilangan terhad)

Pengajian Tasawuf dan Falsafah (siri 3) Read More »

Pengaruh Sufisme di Alam Melayu

Perbicaraan ini akan memberikan perhatian utama kepada pengaruh sufisme atau tasawuf di Alam Melayu. Sejarah panjang dan ciri-ciri pemikiran tasawuf yang panjang menyebabkan muncul beberapa aliran utama pemikiran tasawuf atau sufisme itu di Timur Tengah dan Iran sekali gus menjadikan aliran pemikiran tasawuf di Alam Melayu juga berbagai-bagai.  Kepentingan dan makna tasawuf akan dibincangkan dan sedikit perbandingan akan dibuat dengan aliran-aliran spiritualiti di dalam tradisi agama-agama utama yang lain. Aliran tasawuf yang dipengaruhi falsafah, kalam dan kosmologi akan dibincangkan khususnya pemikiran Ibn Sina, Ibn. ‘Arabi, al-Ghazali dan Ibn Ataillah al-Iskandari akan diberi perhatian utama di dalam perbicaraan tajuk ini.  Akhirnya kita juga akan menyentuh pemikiran dan pengaruh Amir Hamzah yang dikenali sebagai Raja Pujangga di dalam aliran pemikiran dan persuratan di Alam Melayu. Dalam siri syarahan umum ketiga TRADISI dengan Kerjasama Toko Buku Pujangga Baru membawakan Prof Baharudin Ahmad untuk mengupas pengaruh sufisme atau tasawuf di Alam Melayu  dan aliran tasawuf yang dipengaruhi falsafah, kalam, kosmologi khususnya pemikiran Ibn Sina, Ibn ‘Arabi, al-Ghazali dan Ibn Ataillah al-Iskandari juga akan diberi perhatian utama di dalam perbicaraan tajuk ini. Jemput hadir ke kedai Toko Buku Pujangga Baru dan boleh ikuti siaran langsung di Fb live kami pada 29hb December 2022.

Pengaruh Sufisme di Alam Melayu Read More »

Ibnu Sina dan Pembuktian Tuhan

Oleh: Firmansyah Djibran El’Syirazi B.Ed, Lc  Kitab al-Isyarât wa al-Tanbihat, Ibn Sina mengajukan dalil baru untuk pembuktian eksistensi Sang Pencipta. lnilah cara dia ketika memulai bahasannya: “Bagian Empat tentang Eksistensi dan Sebab-sebabnya.”Jadi, alih-alih membicarakan “prinsip-prinsip alam”, ia membahas “eksistensi” dan “sebab-sebab”-nya. Menyangkut bukti adanya sebab pertama dan sumber eksistensi, ia mengatakan: Wujud (being) itu bisa wajib atau mungkin. Wujud mungkin (mumkin al-wujud) mewujud karena beberapa faktor eksternal. Jika faktor eksternal itu adalah wujud wajib pada dirinya sendiri, maka itulah sumber (wujud) dan pencipta. Jika faktor eksternal itu wujud mungkin, maka ia pastilah akibat atau efek dari sesuatu yang lain ketimbang dirinya sendiri. Jika rangkaian wujud-wujud mungkin meluas secara tak terbatas tanpa mencapai titik awal, suatu titik sumber dan eksistensi wajib, tak satu pun dari wujud-wujud mungkin dalam rangkaian tak terbatas ini ada karena aktualisasi dari rangkaian ini tergantung pada adanya rangkaian sebelumnya. Dan sekalipun asumsi seperti ini terus berlanjut secara tak terbatas, ia tetap tidak bisa muncul dari wilayah asumsi dan memiliki kepastian. Untuk menjelaskan argumen Ibn Sina, kami akan memberikan ilustrasi berikut. Anggaplah, sebuah batu karang yang besar jatuh menimpa jalan, sehingga menutupinya. Jelaslah, batu karang itu tidak akan bergerak karena dirinya sendiri. Pejalan pertama yang melewatinya mendapatkan jalan tertutup dan berkata kepada dirinya sendiri: “Jika ada orang lain yang menemani, niscaya kami bisa memindahkan batu karang tersebut dan membersihkan jalannya.” Seorang pejalan kedua muncul namun mendengar ucapan orang pertama, ia menjawab bahwa, “Jika ada orang lain yang menemani maka kami bertiga niscaya bisa memindahkan batu karang.” Pejalan ketiga sampai di tempat tersebut, seraya berkata bahwa, “Jika ada orang keempat muncul dan membantu, maka kami bisa menggeser batu karang itu. Orang keempat muncul dan menanti kedatangan orang kelima, dan seterusnya sampai tak terbatas. Apakah batu karang itu bergerak dalam keadaan semacam itu? Tentu saja tidak. Batu karang itu akan pindah hanya ketika seseorang datang dan mau bertindak tanpa menunggu kemunculan orang lain. Dalam situasi seperti itu baik ia sendirian ataupun bersama-sama akan bertindak dan memindahkan batu karang itu sehingga jalan pun terbuka lagi. Demikian pula, dalam rantai sebab-akibat, sepanjang kita tidak sampai pada suatu sebab yang ada pada dirinya sendiri, lepas dari benda-benda apapun, maka tak satu rangkaian pun yang niscaya ada. Dengan kata lain, kita harus Sampai pada Wujud yang memiliki eksistensi mandiri atau wujud wajib. Eksistensi berawal di titik ini dan, ketika ia menurun dari rantai sebab-akibat, menyampaikan setiap rangkaian pada wujud dan realitasnya. Oleh sebab itu, dalam bayangan Wujud Mutlak inilah segala sesuatu mencapai keberadaannya. Dengan demikian, Ibn Sina menemukan Wujud Wajib dan Tuhan tidak melalui penelaahan atas prinsip-prinsip ataupun asal-usul alam, melainkan melalui perhatian yang cermat atas kemungkinan dan kemestian, mungkin dan wajib, dan ketergantungan mutlak dari wujud mungkin pada wujud wajib.Setelah pembuktian eksistensi Sang Pencipta, Ibn Sina selanjutnya membuktikan Keesaan, Kuasa, Pengetahuan, dan sifat-sifat lain dari Pencipta melalui pengujian persoalan wujud mungkin dan wujud wajib. Ia mengatakan:Perhatikanlah dan lihatlah bagaimana pembuktian kami ihwal eksistensi Sumber, Kesucian dan Kesempurnaan-Nya tidak membutuhkan perenungan lain selain “eksistensi” itu sendiri. Di sini tidak perlu merenungkan makhluk-Nya. Meski pengujian seperti itu akan mengantarkan kita kepada-Nya, namun pendekatan kami lebih mendalam. Sebab, pertama-tama kami merenungkan wujud itu sendiri, sehingga ia bisa menerangkan realitasnya sendiri secara jelas dan kemudian menjadi sebab keberadaan segala sesuatu yang memancar darinya pada tahapan berikutnya. Ayat berikut merujuk kepada masalah ini, “Kami akan menunjukkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Quran itu adalah benar…” (QS Fushshilat: 53). Penjelasan ini tertuju pada satu kelompok. Kemudian al-Quran mengatakan, “Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu.” (QS Fushshilat: 53). Penjelasan ini terkait dengan kelompok lain, yakni “orang-orang benar” (al-shiddîqûn) yang menganggap Tuhan sebagai bukti dari segala sesuatu yang lain, bukan segala sesuatu lain sebagai bukti bagi Tuhan. Mengomentari kata-kata Ibn Sina, Nashir al-Din al-Thusi (597-672) berkata: Para teolog menganggap munculnya objek-objek dan kualitas-kualitas mereka sebagai bukti keberadaan Sang Pencipta. Melalui pengujian dan pengamatan atas makhluk-makhluk, adalah mungkin meraih pengetahuan akan sifat-sifat Allah. Para filosof alam menganggap eksistensi gerakan sebagai bukti keberadaan Penggerak dan percaya bahwa karena rantai penggerak-penggerak semacam itu tidak bisa terbentang tak terbatas, kita harus sampai pada Penggerak yang ia sendiri tidak bergerak. Akhirnya, mereka mendapatkan Sebab Pertama. Akan tetapi para arifin (metaphysicians), melalui pengujian “eksistensi” itu sendiri dan fakta bahwa “eksistensi” mestilah berwatak mungkin (contingent) atau wajib (necessary), membuktikan eksistensi Wujud Wajib (Necessary Existent). Kemudian, dengan pengujian implikasi-implikasi logis kemungkinan dan kemestian, mereka mendapatkan sifat-sifat Wujud Wajib. Dan dengan sebuah perenungan atas sifat-sifat ini, mereka menemukan proses di mana semua makhluk terwujud, yang memancar dari Wujud Wajib. Ibn Sina mengatakan (dalam pernyataan yang baru saja dikutip) bahwa metode ini lebih baik ketimbang metode sebelumnya karena dalilnya lebih kuat dan lebih berharga. Ini disebabkan sebaik-baiknya dalil yang mampu mengantarkan manusia kepada kepastian adalah dalil yang di dalamnya kita menjumpai akibat melalui sebab. Sebaliknya, menganggap akibat sebagai bukti dari sebab tidaklah menggiring seseorang kepada kepastian mutlak dalam beberapa hal.  Hal ini, misalnya, dalam kasus di mana satu-satunya cara untuk mengetahui sebab adalah melalui akibat. Ini lebih jernih dalam bagian argumentasi. Al-Quran mengatakan,“Kami akan menunjukkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Quran itu adalah benar Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu.” (QS Fushshilat: 53). Ibn Sina mengambil dua aspek penting dari firman Allah ini dan mengaitkan keduanya kepada dua metode yang disebutkan sebelumnya. Dua aspek ini adalah:  (i) mengganggap tanda-tanda yang ada di dunia dan pada manusia sebagai bukti bagi keberadaan Tuhan; dan  (ii) menjadikan Tuhan sebagai bukti atas keberadaan segala sesuatu yang lainnya. Lagi pula, karena ia memilih metode kedua, ia telah menyebutnya metode shiddîqîn karena shiddîq adalah kelompok manusia yang senantiasa mencari kebenaran. Sepeninggal Ibn Sina, “argumen kemestian dan kemungkinan”-nya menjadi dalil yang paling populer bagi pembuktian eksistensi Tuhan, sehingga dalam buku-buku filsafat dan teologi yang lebih ringkas, hanya argumen ini yang dirujuk. Dalam bukunya yang paling terkenal, dalam pasal yang membahas bukti eksistensi Tuhan, Nashir al-Din al-Thusi hanya merujuk argumen

Ibnu Sina dan Pembuktian Tuhan Read More »

Burhan dalam Perspektif Falsafah Kalam

Oleh: Firmansyah Djibran El’Syirazi B.Ed, Lc  Kedirian wujud dapat dipersepsi melalui penyaksian kehadiran, dan juga bisa dari jalan penalaran kepada efek-efek dan akibat-akibat wujud.  ( Asfar arba’ah, Shadrulmutaallihin, jilid awal, darulma’arif al islamiyah, Tehran, 1383 Qamariah, hal. 53). 1.Burhan Nazm (keteraturan) Burhan ini dibangun atas beberapa muqadimah (premis). Pertama, bahwa alam  raya ini penuh dengan berbagai jenis benda, baik yang hidup maupun yang mati. Kedua, bahwa alam bendawi (tabiat) tunduk kepada satu peraturan. Artinya, setiap benda yang ada di alam ini tidak terlepas dari pengaruh undang-undang dan hukum alam. Ketiga, hukum yang menguasai alam ini adalah hukum kausalitas (illiyyah), artinya setiap fenomena yang terjadi di alam ini pasti dikarenakan sebuah sebab (illat) dan tidak mungkin satu fenomena terjadi tanpa sebab. Dengan demikian, seluruh alam raya ini dan segala yang ada di dalamnya, termasuk hukum alam dan sebab akibat, adalah fenomena dari sebuah puncak sebab (prima kausa atau illatul ilal). Keempat, “sebab” atau illat yang mengadakan seluruh alam raya ini tidak keluar dari dua kemungkinan, yaitu “sebab” yang berupa benda mati atau sesuatu yang hidup. Kemungkinan pertama tidak mungkin, karena beberapa alasan berikut :  Pertama, alam raya ini sangat besar, indah dan penuh keunikan. Hal ini menunjukkan bahwa “sebab” yang mengadakannya adalah sesuatu yang hebat, pandai dan mampu. Kehebatan, kepandaian dan kemampuan, merupakan ciri dan sifat dari sesuatu yang hidup. Benda mati tidak mungkin disifati hebat, pandai dan mampu. Kedua, benda-benda yang ada di alam ini beragam dan bermacam-macam, diantaranya adalah manusia. Manusia merupakan salah satu bagian dari alam yang paling menonjol. Dia pandai, mampu dan hidup. Mungkinkah menusia yang pandai, mampu dan hidup terwujud dari sesuatu yang mati ?. Kesimpulannya, bahwa alam raya ini mempunyai ‘’sebab’’ atau ‘illat, dan ‘’sebab’’ tersebut adalah sesuatu yang hidup. Kaum muslimin menamai ‘’sebab’’ segala sesuatu itu dengan sebutan Allah Ta’ala.   2.  Burhan al-Huduts (kebaruan) Al-Huduts atau al-Hadits berarti baru, atau sesuatu yang pernah tidak ada kemudian ada.  Burhan ini terdiri atas beberapa hal : Pertama, bahwa alam raya ini hadits, artinya mengalami perubahan dari tidak ada menjadi ada dan akhirnya tidak ada lagi. Kedua, segala sesuatu yang asalnya tidak ada kemudian ada, tidak mungkin ada dengan sendirinya. Pasti dia menjadi ada karena ‘’sebab’’ sesuatu. Ketiga, yang menjadikan alam raya ini ada haruslah sesuatu yang qadim, yakni keberadaannya tidak pernah mengalami ketiadaan.  Keberadaannya kekal dan abadi. Karena, jika sesuatu yang mengadakan alam raya ini hadits juga, maka Dia-pun ada karena ada yang mengadakannya, demikian seterusnya (tasalsul). Tasalsul yang tidak berujung seperti ini mustahil. Dengan demikian, pasti ada ‘sesuatu’ yang keberadaannya tidak pernah mengalami ketiadaan. Kaum muslimin menamakan ‘sesuatu’ itu dengan sebutan Allah Ta’ala. Burhan-burhan Aqli-filosofi tentang keniscayaan wujud Allah Ta’ala. A.  Burhan Imkan Sebelum menguraikan burhan ini, ada beberapa istilah yang perlu diperjelas terlebih dahulu Wajib,yaitu sesuatu yang wujudnya pasti, dengan sendirinya dan tidak membutuhkan kepada yang lain. Imkan atau mumkin, sesuatu yang wujud (ada) dan ‘adam (tiada) baginya sama saja (tasawiy an-nisbah ila al-wujud wa al-‘adam). Artinya, sesuatu yang ketika ‘ada’ disebabkan faktor eksternal, atau keberadaannya tidak dengan sendirinya. Demikian pula, ketika ‘tidak ada’ disebabkan oleh faktor eksternal pula, atau ketiadaannya juga tidak dengan sendirinya. Dia tidak membias kepada wujud dan kepada ketiadaan. Menurut para filosof, hal ini merupakan ciri khas dari mahiyah(esensi). Mumtani atau mustahil, iaitu sesuatu yang tidak mungkin ada dan tidak mungkin terjadi, seperti sesuatu itu ada dan tiada pada saat dan tempat yang bersamaan (ijtima’un-naqidhain). Daur (siklus atau lingkaran setan) Misal, A keberadaannya tergantung/membutuhkan B, sedangkan B keberadaannya tergantung/membutuhkan  A. Jadi, A tidak mungkin ada tanpa keberadaan B terlebih dahulu, demikian pula B tidak mungkin ada tanpa keberadaan A terlebih dahulu. Dengan demikian, A tidak akan ada tanpa B dan pada saat yang sama A harus ada karena dibutuhkan B. Ini berarti ijtima’un naqidhain (lihat Mumtani’).  Contoh lainnya, A keberadaannya tergantung/membutuhkan B, dan B keberadaannya tergantung/membutuhkan C, sedangkan C keberadaannya tergantung/ membutuhkan A. Jadi, A tidak mungkin ada tanpa keberadaan B terlebih dahulu, demikian juga B tidak mungkin ada tanpa keberadaan C terlebih dahulu, demikian juga C tidak mungkin ada tanpa keberadaan A terlebih dahulu. Daur adalah suatu yang mustahil adanya. Tasalsul, iaitu susunan sejumlah ‘illat dan  ma’lul, dengan pengertian bahwa yang terdahulu menjadi ‘illat bagi yang kemudian, dan seterusnya tanpa berujung. Tasalsul sama dengan daur, mustahil adanya. Burhan Imkan dapat dijelaskan dengan beberapa poin sebagai berikut  ini: Pertama, bahwa seluruh yang ada tidak lepas dari dua posisi wujud, iaitu wajib atau mumkin. Kedua, wujud yang wajib ada dengan sendirinya dan wujud yang mumkin pasti membutuhkan atau berakhir kepada wujud yang wajib, secara langsung atau lewat perantara. Kalau tidak membutuhkan kepada yang wajib, maka akan terjadi daur (siklus) atau tasalsul (rentetan mata rantai yang tidak berujung) dan keduanya mustahil. Ketiga, bahwa yang mumkin berakhir kepada yang wajib. Dengan demikian, yang wajib adalah ‘sebab’ dari segala wujud yang mumkin (prima kausa atau ‘illatul ‘ilal). Kaum muslimin menamakan wujud yang wajib dengan sebutan Allah Ta’ala. B. Burhan Ash-Shiddiqin Burhan ini menurut para filosuf muslim, merupakan terjemahan dari ungkapan Ahlul Bayt as. yang berbunyi, “Wahai Dzat yang menunjukkan diri-Nya dengan diri-Nya.” (Doa Shahabah Amir al-Mukminin Ali bin Abi Thalib as.) Artinya, Burhan ini ingin menjelaskan pembuktian wujud Allah melalui wujud diri-Nya sendiri. Para ahlui mantiq (logika) menyebutnya dengan burhan Limmi. Penjelasan burhan ini, hampir sama dengan penjelasan burhan Imkan. Ada beberapa penafsiran tentang burhan shiddiqin ini. Diantaranya penafsiran Mulla Shadra. Beliau mengatakan, “Dengan demikian, yang wujud terkadang tidak membutuhkan kepada yang lain (mustaghni) dan terkadang pula, secara substansial, ia membutuhkan kepada yang lain (muftaqir). Yang pertama, adalah wujud yang wajib, iaitu wujud murni. Tiada yang lebih sempurna dari-Nya dan dia tidak diliputi ketiadaan dan kekurangan. Sedangkan yang kedua, adalah selain wujud yang wajib, iaitu perbuatan-perbuatan-Nya yang tidak bisa tegak kecuali dengan-Nya (Nihayah al-Hikmah, hal. 269). Allamah al-Hilli, dalam komentarnya terhadap kitab Tajrid al-‘Itiqad karya Syekh Thusi, menjelaskan, “Di luar kita secara pasti ada yang wujud. Jika yang wujud itu wajib, maka itulah yang dimaksud (Allah Ta’ala), dan jika yang wujud itu mumkin, maka dia pasti membutuhkan faktor yang wujud (untuk keberadaannya). Jika faktor itu wajib, maka itulah yang dimaksud (Allah Ta’ala).

Burhan dalam Perspektif Falsafah Kalam Read More »

Scroll to Top