Ibnu Sina dan Pembuktian Tuhan

Oleh: Firmansyah Djibran El’Syirazi B.Ed, Lc 

Kitab al-Isyarât wa al-Tanbihat, Ibn Sina mengajukan dalil baru untuk pembuktian eksistensi Sang Pencipta. lnilah cara dia ketika memulai bahasannya: “Bagian Empat tentang Eksistensi dan Sebab-sebabnya.”Jadi, alih-alih membicarakan “prinsip-prinsip alam”, ia membahas “eksistensi” dan “sebab-sebab”-nya. Menyangkut bukti adanya sebab pertama dan sumber eksistensi, ia mengatakan:

Wujud (being) itu bisa wajib atau mungkin. Wujud mungkin (mumkin al-wujud) mewujud karena beberapa faktor eksternal.

Jika faktor eksternal itu adalah wujud wajib pada dirinya sendiri, maka itulah sumber (wujud) dan pencipta. Jika faktor eksternal itu wujud mungkin, maka ia pastilah akibat atau efek dari sesuatu yang lain ketimbang dirinya sendiri. Jika rangkaian wujud-wujud mungkin meluas secara tak terbatas tanpa mencapai titik awal, suatu titik sumber dan eksistensi wajib, tak satu pun dari wujud-wujud mungkin dalam rangkaian tak terbatas ini ada karena aktualisasi dari rangkaian ini tergantung pada adanya rangkaian sebelumnya. Dan sekalipun asumsi seperti ini terus berlanjut secara tak terbatas, ia tetap tidak bisa muncul dari wilayah asumsi dan memiliki kepastian.

Untuk menjelaskan argumen Ibn Sina, kami akan memberikan ilustrasi berikut. Anggaplah, sebuah batu karang yang besar jatuh menimpa jalan, sehingga menutupinya. Jelaslah, batu karang itu tidak akan bergerak karena dirinya sendiri. Pejalan pertama yang melewatinya mendapatkan jalan tertutup dan berkata kepada dirinya sendiri: “Jika ada orang lain yang menemani, niscaya kami bisa memindahkan batu karang tersebut dan membersihkan jalannya.” Seorang pejalan kedua muncul namun mendengar ucapan orang pertama, ia menjawab bahwa, “Jika ada orang lain yang menemani maka kami bertiga niscaya bisa memindahkan batu karang.” Pejalan ketiga sampai di tempat tersebut, seraya berkata bahwa, “Jika ada orang keempat muncul dan membantu, maka kami bisa menggeser batu karang itu. Orang keempat muncul dan menanti kedatangan orang kelima, dan seterusnya sampai tak terbatas. Apakah batu karang itu bergerak dalam keadaan semacam itu? Tentu saja tidak. Batu karang itu akan pindah hanya ketika seseorang datang dan mau bertindak tanpa menunggu kemunculan orang lain. Dalam situasi seperti itu baik ia sendirian ataupun bersama-sama akan bertindak dan memindahkan batu karang itu sehingga jalan pun terbuka lagi.

Demikian pula, dalam rantai sebab-akibat, sepanjang kita tidak sampai pada suatu sebab yang ada pada dirinya sendiri, lepas dari benda-benda apapun, maka tak satu rangkaian pun yang niscaya ada. Dengan kata lain, kita harus Sampai pada Wujud yang memiliki eksistensi mandiri atau wujud wajib. Eksistensi berawal di titik ini dan, ketika ia menurun dari rantai sebab-akibat, menyampaikan setiap rangkaian pada wujud dan realitasnya. Oleh sebab itu, dalam bayangan Wujud Mutlak inilah segala sesuatu mencapai keberadaannya.

Dengan demikian, Ibn Sina menemukan Wujud Wajib dan Tuhan tidak melalui penelaahan atas prinsip-prinsip ataupun asal-usul alam, melainkan melalui perhatian yang cermat atas kemungkinan dan kemestian, mungkin dan wajib, dan ketergantungan mutlak dari wujud mungkin pada wujud wajib.
Setelah pembuktian eksistensi Sang Pencipta, Ibn Sina selanjutnya membuktikan Keesaan, Kuasa, Pengetahuan, dan sifat-sifat lain dari Pencipta melalui pengujian persoalan wujud mungkin dan wujud wajib.

Ia mengatakan:
Perhatikanlah dan lihatlah bagaimana pembuktian kami ihwal eksistensi Sumber, Kesucian dan Kesempurnaan-Nya tidak membutuhkan perenungan lain selain “eksistensi” itu sendiri. Di sini tidak perlu merenungkan makhluk-Nya. Meski pengujian seperti itu akan mengantarkan kita kepada-Nya, namun pendekatan kami lebih mendalam. Sebab, pertama-tama kami merenungkan wujud itu sendiri, sehingga ia bisa menerangkan realitasnya sendiri secara jelas dan kemudian menjadi sebab keberadaan segala sesuatu yang memancar darinya pada tahapan berikutnya. Ayat berikut merujuk kepada masalah ini,

“Kami akan menunjukkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Quran itu adalah benar…” (QS Fushshilat: 53).

Penjelasan ini tertuju pada satu kelompok. Kemudian al-Quran mengatakan, “Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu.” (QS Fushshilat: 53).


Penjelasan ini terkait dengan kelompok lain, yakni “orang-orang benar” (al-shiddîqûn) yang menganggap Tuhan sebagai bukti dari segala sesuatu yang lain, bukan segala sesuatu lain sebagai bukti bagi Tuhan.

Mengomentari kata-kata Ibn Sina, Nashir al-Din al-Thusi (597-672) berkata:

Para teolog menganggap munculnya objek-objek dan kualitas-kualitas mereka sebagai bukti keberadaan Sang Pencipta. Melalui pengujian dan pengamatan atas makhluk-makhluk, adalah mungkin meraih pengetahuan akan sifat-sifat Allah.


Para filosof alam menganggap eksistensi gerakan sebagai bukti keberadaan Penggerak dan percaya bahwa karena rantai penggerak-penggerak semacam itu tidak bisa terbentang tak terbatas, kita harus sampai pada Penggerak yang ia sendiri tidak bergerak. Akhirnya, mereka mendapatkan Sebab Pertama.


Akan tetapi para arifin (metaphysicians), melalui pengujian “eksistensi” itu sendiri dan fakta bahwa “eksistensi” mestilah berwatak mungkin (contingent) atau wajib (necessary), membuktikan eksistensi Wujud Wajib (Necessary Existent). Kemudian, dengan pengujian implikasi-implikasi logis kemungkinan dan kemestian, mereka mendapatkan sifat-sifat Wujud Wajib. Dan dengan sebuah perenungan atas sifat-sifat ini, mereka menemukan proses di mana semua makhluk terwujud, yang memancar dari Wujud Wajib.


Ibn Sina mengatakan (dalam pernyataan yang baru saja dikutip) bahwa metode ini lebih baik ketimbang metode sebelumnya karena dalilnya lebih kuat dan lebih berharga. Ini disebabkan sebaik-baiknya dalil yang mampu mengantarkan manusia kepada kepastian adalah dalil yang di dalamnya kita menjumpai akibat melalui sebab. Sebaliknya, menganggap akibat sebagai bukti dari sebab tidaklah menggiring seseorang kepada kepastian mutlak dalam beberapa hal. 

Hal ini, misalnya, dalam kasus di mana satu-satunya cara untuk mengetahui sebab adalah melalui akibat. Ini lebih jernih dalam bagian argumentasi. Al-Quran mengatakan,“Kami akan menunjukkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Quran itu adalah benar Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu.” (QS Fushshilat: 53).


Ibn Sina mengambil dua aspek penting dari firman Allah ini dan mengaitkan keduanya kepada dua metode yang disebutkan sebelumnya. Dua aspek ini adalah: 

(i) mengganggap tanda-tanda yang ada di dunia dan pada manusia sebagai bukti bagi keberadaan Tuhan; dan 

(ii) menjadikan Tuhan sebagai bukti atas keberadaan segala sesuatu yang lainnya. Lagi pula, karena ia memilih metode kedua, ia telah menyebutnya metode shiddîqîn karena shiddîq adalah kelompok manusia yang senantiasa mencari kebenaran.

Sepeninggal Ibn Sina, “argumen kemestian dan kemungkinan”-nya menjadi dalil yang paling populer bagi pembuktian eksistensi Tuhan, sehingga dalam buku-buku filsafat dan teologi yang lebih ringkas, hanya argumen ini yang dirujuk. Dalam bukunya yang paling terkenal, dalam pasal yang membahas bukti eksistensi Tuhan, Nashir al-Din al-Thusi hanya merujuk argumen ini. Ia mengatakan:

Butir ketiga menyangkut bukti keberadaan Tuhan, Sifat-sifat dan Perbuatan-perbuatan-Nya yang terkandung pada pasal-pasal berikut. Pasal yang membahas eksistensi Tuhan. Sesuatu itu adalah Wujud Wajib yang dalam hal ini tidak memerlukan bukti dan Wujud Mungkin yang tergantung pada Wujud Wajib. Jika sebaliknya, maka kita akan berhadapan dengan daur atau tasalsul yang kedua-duanya adalah mustahil.

Dalam bukunya, Kasyf al-Murâd fi Syarh Tajrîd al-I’tiqâd, Allamah Hilli menulis:


Bukti keberadaan Wujud Wajib adalah sebagai berikut: 

Tak syak lagi, kita mendapatkan bahwa pasti ada suatu Realitas. Realitas ini, yang di atasnya kita tidak bisa ragu, entah Wujud Wajib yang tidak membutuhkan diskusi lebih jauh atau ia bukanlah Wujud Wajib yang berarti ia adalah Wujud Mungkin dan, dengan sendirinya, membutuhkan sebab yang tiada lain adalah sumber keberadaannya. Sekarang sebab ini sendiri apakah Wujud Wajib, yang berarti tidak membutuhkan diskusi lebih jauh ataukah Wujud Mungkin yang artinya bahwa ia membutuhkan sebab. Dan ini artinya kita akan sampai pada daur atau tasalsul di mana kami telah menyebutkan bahwa kedua-duanya salah.

Dalam metode yang digunakan oleh Ibn Sina, Nashir al-Din al-Thusi, Allamah Hilli, dan yang lainnya, ada pembahasan daur dan tasalsul. Apabila seseorang tidak mempertimbangkan dua alternatif ini sebagai kemustahilan, maka seluruh dalil tentang kekuatan dan kejelasan yang darinya telah banyak disebutkan, menjadi sia-sia. 


Firmansyah Djibran El’Syirazi B.Ed, Lc

Sebagai Penyelidik di TRADISI dan merupakan mahasiswa sarjana di  Al-Mustafa International Universiti,‎ IRAN

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top