
Oleh: Firmansyah Djibran El’Syirazi B.Ed, Lc
Dari pengalaman sehari-hari, kita memang tak bisa menyangsikan realitas luar dan realitas dalam pikiran kita. Kedua-duanya ada, kedua-duanya dapat dijadikan subyek alias pokok kalimat berupa kata benda. Semua yang ada dapat dijadikan pokok kalimat. Inilah yang disebut oleh Aristoteles sebagi substansi. Bagi Aristoteles, substansi atau dzat itulah yang mempunyai eksistensi. Yang lainnya, iaitu kata kerja, kata sifat dan lain sebagainya merupakan keterangan alias aksiden yang ditambahkan atau esensi yang melekat pada substansi. Pengetahuan kita tentang substansi itu termasuk aksiden. Tetapi pengetahuan kita tentang diri kita termasuk esensi, begitu juga pengetahuan Tuhan tentang diri-Nya. Begitu pula Sifat–sifat Tuhan lainnya. Lalu manakah lebih fundamental antara keduanya?
Jawaban Mu’tazilah
Bagi kaum Mu’tazilah sebagian dari sifat-sifat Tuhan bersifat esensial, termasuk wujud, esa, ‘ilm dan lain sebagainya. Sekarang timbul pertanyaan, apakah sifat-sifat itu abadi atau tidak. Jawab yang umum, tentulah: ya, sifat-sifat itu abadi. Nah, kalau sifat-sifat itu abadi, apakah sifat-sifat itu ada atau tidak. Tentu saja jawabnya: sifat-sifat itu ada. Jika tidak ada, bagaimana pula sifat-sifat itu akan disebut dalam firman-firman-Nya. Disinilah kaum Mu’tazilah berkeberatan. Kalau sifat-sifat itu ada dan abadi, maka dengan sendirinya Tuhan mempunyai sekutu alias syir’k. Tentu saja ini bertentangan dengan sifat Tuhan yang paling pokok yaitu keesaan-Nya. Untuk menyelesaikan persoalan pelik ini, mereka mengatakan sifat-sifat itu tidak ada, yang ada hanyalah nama-nama yang diberikan oleh Tuhan untuk menjelaskan pada manusia. Metode penelitian kaum Mu’tazilah adalah penggunaan Manthiq (Logika) untuk menafsirkan ayat-ayat al Qur’an yang suci. Dari penalaran seperti itu mereka hanya mengenal dua realitas, yang Mutlak dan yang nisbi, dengan jurang tak terseberangi antara keduanya, kecuali dengan iman yang rasional.
Jawaban Hikmatul Masya’iyyah (Peripatetik)
Kaum filosof Masya’iyyah, seperti Ibn Sina, punya pendapat lain, walaupun sama-sama menganggap tinggi logika Yunani. Tuhan itu ada dan Sifat-Sifat-Nya juga ada. Hanya saja keberadaan Dzat Tuhan berbeda dengan keberadaan Sifat-Sifat Tuhan. Dzat atau substansi, Keberadaan atau eksistensi Tuhan bersifat primer, sedangkan yang keberadaan Sifat-Sifat Tuhan, termasuk esensi-Nya bersifat sekunder. Tak terbayangkan yang kedua tanpa yang pertama. Sebaliknya tidak demikian. Jadi, Eksistensi Ilahi mendahului Esensi-Nya. Dalam bahasa ilmu Kalam, Dzat mendahului Sifat. Dzat dan Sifat, sama-sama merupakan realitas yang nyata. Begitulah pandangan mazhab Peripatetisme Islam atau Hikmatul Masya’iyyah yang ditegakkan para pendirinya dengan menggunakan nalar rasional terhadap konsep-konsep intelektual. Berbeda dengan ontologi Kalam yang hanya memahami dua realitas, Yang Mutlak dan yang Nisbi, para filosof mengakui adanya perjenjangan diskrit antara keduanya seperti kaum Neo-Platonis.
Jawaban Hikmatul Wahdatiyah
Akan tetapi para ahli sufi aliran wujudiyah, misalnya Ibn Arabi, yang berlawanan dengan pandangan para filosof. Katanya, wujud itu hanya satu, iaitu Tuhan. Benda-benda lain tak punya wujud apa lagi sifat-sifatnya. Sedangkan Sifat-Sifat Tuhan yang mereka sebut a’yan tsabitah (realitas-realitas tetap) itu adalah bentuk-bentuk dalam pengetahuan-Nya. Sebenarnya, a’yan tsabitah itu juga dikenal oleh para pemikir lainnya di kalangan Muslim dan non-Muslim. Kaum mutakalimun menyebutnya ma’lumat (yang diketahui) dan kaum falasifah menyebutnya sebagai mahiyyat (quidditas, ke-apa-an atau esensi). Aristoteles menyebutnya morphe (bentuk-bentuk) dan gurunya, Plato, menyebutnya eidos (ide-ide). Bagi Ibn Arabi, apa yang kita hadapi sebagai benda-benda fisik itu tak lain dari bayangan realitas-realitas tetap itu. Inilah pandangan irfan Wahdatul Wujud alias kesatuan Realitas. Dalam pandangan ini Wujud atau eksistensi mendahului mahiyyat atau esensi. Para arifin ini mencurigai penggunakan rasio atau aql, sebagai gantinya mereka menggunakan intuisi atau pengalaman batin mengenai realitas sebagai sumber utama pengetahuannya. Di samping dari pengalaman mistik mereka, mereka meyimpulkan adanya jenjang realitas dan kesadaran yang bersifat diskrit.
Jawaban Hikamatul Isyraqiyah
Seorang sufi lainnya dari Persia, Syihabuddin Suhrawardi yang juga seorang kritikus tajam filsafat Ibn Sina, berusaha mengekspresikan pengalaman kesatuan mistiknya dalam pandangan yang sama sekali lain. Katanya, wujud, alias eksistensi, hanya ada dalam pikiran manusia. Yang benar-benar ada hanyalah esensi-esensi itu yang tak lain dari pada bentuk-bentuk cahaya dari Maha Cahaya yang tak lain dari pada Tuhan. Cahaya itu Satu dan benda-benda yang banyak lagi berbeda-beda itu hanyalah gradasi intensitasnya atau kebenderangannya. Dalam pandangan metafisika cahaya Persia ini, wujud bersifat sekunder, dan sifat-sifat atau esensi bersifat primer. Dalam bahasa filosofis, ini berarti esensi lebih fundamental atau mendahului, secara logis, eksistensi. Inilah pandangan filsafat iluminasionisme alias Hikmatul Isyraqi. Suhrawardi, pendiri mazhab Isyraqiyah, mengambil kesimpulannya melalui suatu penelitian filosofis yang menggabungkan metode intuitif mistikus dengan metode rasional filosofis sebagai pelengkapnya.
Jawaban Sintesa: Hikmatul Muta’aliyah
Pandangan Suhrawardi itu menjadi dominan di kalangan filsuf Persia di masa kejayaan Daulah Shafawiyah di Iran yang kemudian dikenal sebagai mazhab Isfahan. Begitulah Mulla Sadra diajarkan oleh gurunya: Mir Damad. Akan tetapi dia juga sangat mengagumi pandangan Ibn Arabi yang menakjubkan itu. Oleh karena itu dia membalik ajaran Isyraqiyah dengan mengambil pandangan Ibnu Arabi tentang prioritas eksistensi atau wujud terhadap esensi atau mahiyah, namun dia menolak pandangan Ibn Arabi tentang ketunggalan wujud. Bagi Mulla Sadra benda-benda sekitar kita di alam bukanlah tanpa eksistensi atau ilusi, namun juga ada seperti adanya Tuhan. Sedangkan sifat-sifat atau esensi yang tidak mempunyai eksistensi sama sekali. Esensi adalah kebalikan dari eksistensi. Jika Tuhan adalah Ada dan benda-benda juga ada, maka tak dapat secara logika dihindarkanlah kesimpulan bahwa segala benda-benda adalah Tuhan atau pantheisme seperti yang dituduhkan secara salah oleh para ulama terhadap pandangan wihdatul wujud. Solusi Mulla Sadra dalam hal ini adalah gagasan Tasykikul Wujud atau gradasi wujud yang mengatakan bahwa Eksistensi alias wujud mempunyai gradasi yang kontinu seperti halnya cahaya yang diidentifikasi sebagai Esensi oleh Suhrawardi.
Jadi, menurut Mulla Sadra, dari Ada Mutlak hingga Tiada terdapat gradasi “ada-ada nisbi” yang tak terhingga banyaknya. Dengan perkataan lain, realitas alam semesta merentang dari kutub Tiada ke kutub ADA mutlak. Inilah pandangan kesatuan realitas versi Mulla Sadra yang disebutnya sebagai Hikmatul Muta’aliyyah. Pandangan ini merupakan sintesa besar yang meliputi pandangan teologis kalam, pandangan filosofis hikmat dan pandangan mistis irfan.
Secara tabular kita dapat melukiskan pokok-pokok pikiran tradisional Islam sebagai berikut: Kalam, Mu’tazilah Hikmat, Masya’iyah Hikmat, Isyraqiyah Irfan, Wujudiyah Hikmat, Muta’aliyah, Eksistensi (wujud) riil riil mental riil riil, Esensi (Mahiyyah) riil riil riil mental mental, Hubungan, Eksistensi, Esensi eksistensi, mendahului, esensi eksistensi, mendahului esensi esensi, mendahului, eksistensi eksistensi, mendahului, esensi eksistensi, mendahului esensi, Struktur, Realitas Polaritas, mutlak/nisbi jenjang, eksistensi gradasi, esensi jenjang, esensi gradasi, eksistensi, Metode, keilmuan Rasio, Wahyu Rasio, Intuisi, Wahyu Intuisi, Wahyu Rasio, Intuisi, Wahyu.
Firmansyah Djibran El’Syirazi B.Ed, Lc
Sebagai Penyelidik di TRADISI dan merupakan mahasiswa sarjana di Al-Mustafa International Universiti, IRAN